Tiga orang yang do’anya itu tidak tertolak” Pemimpin yang adil, orang yang berpusa hingga berbuka, dan orang yang didzalimi
Alkisah, di masa Nabi Musa AS hiduplah seorang nelayan miskin dari kalangan Bani Israil. Suatu hari, ia pergi menangkap ikan di laut. Dia mendapatkan ikan yang sangat besar dan membuatnya gembira. Dan dia pergi ke pasar untuk menjual ikan agar bisa digunakan untuk membeli keperluan keluarganya. Di tengah jalan, ada preman merampas ikannya. Si nelayan melawan. Tidak sabar menghadapi nelayan, preman memukulkan sebatang kayu ke kepala nelayan. Dan sang preman sukses membawa kabur ikanya.
Sang nelayan akhirnya meneteskan air mata dan berdo'a kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau menjadikanku sebagai orang yang lemah, dan menjadikan dia sebagai orang yang kuat, Ya Allah ambilkan milik dan hak saya segera. Dia telah mendzalimi saya, saya tidak sabar menunggu hingga hari akhirat".
Di waktu yang sama, sang preman sedang dalam perjalanan pulang. Sesampai di rumah, dia meminta istrinya menggoreng ikan hasil rampokannya. "Gorenglah ikan besar ini," ujarnya pada sang istri. Usai digoreng, ikan tersebut diletakkan di piring kemudian dihidangkan di atas meja yang berada di hadapan si preman. Sebelum ikan siap untuk dimakan, saat itulah terjadi peristiwa aneh. Ikan tersebut membuka matanya dan mematuk jari preman. Patukan ikan tersebut sangat menyakitkan dan mengakibatkan si preman pingsan. Beberapa saat kemudian preman itu sadar lalu pergi menemui seorang tabib. Tangannya masih sangat terasa perih dan sakit. "Satu-satunya jalan untuk mengobati lukamu ini dengan cara mengamputasi jari tangan yang luka agar luka tidak menjalar ke seluruh tangan, “ ujar sang tabib.
Si preman akhirnya diamputasi. Namun, rasa sakit itu berpindah lagi ke telapak tangan dan lengan. Tabib berkata padanya, “Sebaiknya tanganmu diamputasi hingga sikut, sebelum kebagian yang lain. Tangan preman tersebut kembali diamputasi. Tapi rasa sakit berpindah ke bagian bahunya, demikian seterusnya. Preman itu berjalan tak tentu arah dalam keadaan bingung. Dia memohon kepada Allah agar menyembuhkan penyakitnya. Dia melihat sebuah pohon dan pergi menghampirinya. Di sana, dia tertidur.
Di dalam tidurnya, dia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata, “kasihan sekali kamu. Berapa banyak lagi anggota tubuhmu yang harus diamputasi. Pergilah menemui nelayan yang pernah engkau dzalimi. Mintalah ridha darinya.”
Preman tersebut tersadar dari tidurnya. Dia merenung sejenak. Akhirnya dia menyadari bahwa semua penyakit yang dialaminya selama ini berawal dari nelayan yang didzaliminya. Sesampainya di hadapan sang nelayan, dia memohon agar nelayan tersebut mau memaafkan dan meridhainya. Dia memberikan sejumlah uang sampai ganti ikan yang telah dirampasnya. Dia bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Sang nelayan memaafkannya. Dia tinggal dan bermalam di sana hingga tak merasakan sedikit pun rasa sakit dan dapat menikmati tidurnya kembali. Begitulah kisahnya sebagaimana dalam buku “Kisah Orang-Orang dzalim” terbitan Republika.
Tidak Pada Tempatnya
Istilah dzalim sering kita dengar. Tapi apa sebenarnya makna kata dzalim itu sendiri? Beberapa ahli bahasa mendeskripsikan dzalim sebagai “wadl’u syai’a fi ghairi mahallihi” (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya).
Perbuatan dzalim adalah perbuatan yang sangat dicela Islam. Dalam al-Quran disebutkan istilah baghyu yang juga sama maknanya dengan zhulm, yang artinya: melanggar atau merampas hak orang lain.
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Dzar ra bahwa Nabi bersabda meriwayatkan firman Allah, “Wahai hambaku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diriKu maka Aku menjadikannya di antara klian sebagai perbuatan yang haram maka janganlah saling mendzalimi”. (HR.Muslim)
Dzalim merupakan perbuatan yang tidak disenangi oleh Allah. Ini tegaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi “..dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS 3: 57 dan lihat juga ayat QS 42:40)
Di antara dosa besar yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala terhadap para hambaNya dan memberikan sanksi atasnya baik di dunia dan akherat adalah perbuatan dzalim. Allah berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42).
Adapun bentuk kedzaliman itu ada 3 macam sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Pertama, kedzaliman yang tidak diampunkan Allah. Kedua, kedzaliman yang dapat diampunkan Allah, dan ketiga, kedzaliman yang tidak dibiarkan oleh Allah ta’ala.
Adapun kedzaliman yang tidak diampunkan Allah ta’ala adalah syirik, sesuai firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya syirik itu kedzaliman yang amat besar!”, adapun kedzaliman yang dapat diampunkan Allah adalah kedzaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri di dalam hubungan dia terhadap Allah, Tuhannya. Dan kedzaliman yang tidak dibiarkan Allah adalah kedzaliman hamba-hamba-Nya di antara sesama mereka, karena pasti dituntut kelak oleh mereka yang didzalimi.” (HR. al-Bazaar & ath-Thayaalisy)
Kedzaliman yang pertama tidak akan mendapat ampunan dari Allah ta’ala jika pelakunya meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah. “Dan Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim.” QS. Hud: 18
Kedzaliman kedua tergantung pada kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia akan menyiksanya dengan dosa-dosanya dan jika Allah menghendaki maka Dia mengampuniNya dan menutupi perbuatan tersebut.
Adapun orang kafir dan munafiq maka pada saksi mengatakan, "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim.” (QS. Hud: 18.)
Maka wajib bagi orang yang beriman untuk menjaga dirinya agar terlepas dari tanggungan hak orang lain dan meminta agar dihalalkan sebelum datangnya hari kiamat, sebab pada hari itu tidak ada yang bermanfaat baik dirham atau dinar, akan tetapi yang akan bermanfaat adalah balasan kebaikan dan keburukan.
Adapun kedzaliman ketiga, yaitu kedzaliman antara seorang hamba dengan yang lain. Bentuk kedzaliman ini banyak sekali. Di antaranya antara lain membunuh orang lain, memukul dan mencelanya. Juga termasuk di antaranya, menuduh seseorang dengan perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan, menahan diri membayar hutang padahal mampu dan masih banyak yang lainnya.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah memerintahkan agar kita segera minta maaf kepada orang yang kita dzalimi, selagi masih hidup demi untuk memperingan siksa di akhirat nanti. Abu Hurairah r.a. berkata: “Nabi SAW bersabda: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Dalam pergaulan dan interaksi dengan orang lain, Islam telah memerintahkan kepada kita agar menjaga perkataan dan sikap kita agar tidak menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain, apalagi sampai berbuat dzalim. Setiap yang apa yang kita lakukan pasti akan mendapat balasannya.
Dampak Perbuatan Dzalim
Sebuah perbuatan yang menimbulkan kedzaliman memiliki dampak yang sangat negatif. Ibnu Taimiyah berkata, “Manusia tidak pernah berselisih pendapat bahwa akibat kedzaliman itu sangat fatal, dan akibat keadilan itu sangat mulia, dan diriwayatkan bahwa Allah akan menolong suatu negara yang adil sekalipun dia negara kafir, dan Dia tidak akan menolong negara yang dzalim sekalipun dia muslim”. (Majmu’ fatawa: 28/63)
Doa’ orang yang did dzalimi sangat mustajab, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Tiga orang yang do’anya itu tidak tertolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa saat dia berbuka, dan do’a orang yang didzalimi dibawa di atas awan, dibukakan baginya pintu-pintu langit dan dia berkata; Wahai Tuhanku Azza Wa Jalla: Demi Zatku yang Maha Mulia sungguh aku akan menolongmu walau setelah beberapa saat.” (HR. Ahmad)
Kezdaliman adalah sebesar-besar perbuatan maksiat dan perbuatan tersebut dapat merusak kalbu kita. Rasulullah bersabda, “Jauhilah kedzaliman itu, karena kedzaliman itu dapat merusak hati (nurani) kalian.” (Mizan al-Hikmah V/597). Di hadist lain Rasulullah juga bersabda: “Takutlah kamu dari berbuat d dzalim! Karena sesungguhnya ked dzaliman itu adalah kegelapan di Hari Qiyamat!” (Mizan al-Hikmah V/599)
Akibat dari perbuatan dzalim, juga bisa menyebabkan seseorang yang seharusnya masuk surga berubah masuk neraka. Orang yang seperti ini di dalam hadits disebut sebagai orang yang bangkrut. Dari Abi Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?“, mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang“ (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang men dzalimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang ter dzalimi. Maka tatkala kebaikan orang (yang mendzalimi) itu habis, sedang hutang (kedzalimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari mereka (yang terdzalimi) untuk di berikan kepadanya (yang mendzalimi), kemudian ia (yang mendzalimi) dilemparkan ke dalam neraka (HR. Muslim)
Sebagaimanusia, kadang kita tak terasa bahwa yang kita lakukan mendzalimi orang lain. Kepada teman, tetangga, saudara bahkan pada istri dan anak-anak kita sendiri. Marilah kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari perbuatan dzalim, bahkan termasuk dzalim pada diri sendiri. [hidayatullah.com]
0 komentar:
Posting Komentar