Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bai’at. Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul, maka tangan kanannya itu beroleh penghormatan besar, hingga bersumpahlah ia pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia.
Pertanda ini merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus.
‘Imran bin Hushain radhiyallah ‘anhu merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan mentaati-Nya.
Walaupun ia beroleh taufik dan petunjuk Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata, ratapnya: “Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja.”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat ruku’ dan sujud, tetapi ibadatnya, dan syukurnya itu belumlah memadai nikmat yang mereka telah terima.
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Rasulullah, kenapa kami ini? Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala.
Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kami berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri?”
Ujar RasuIuIlah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya!
Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu. Tetapi, yah yang demikian itu hanya sewaktu-waktu, !”
Pembicaraan itu kedengaran oleh’Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berhenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun!
Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Robbul’alamin.
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab, ‘Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: “Tidak seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang ke Bashrah, lebih utama dari ‘Imran bin Hushain.”
Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah, ‘Imran tak sudi diganggu oleh sesuatu pun. Ia menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini lagi. Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya….
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara Kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Mu’awiyah, tidak saja ‘Imran bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: “Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah be salah satu pihak, biar meleset atau tidak.”
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya: “Tetaplah tinggal di mesjidmu. Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah di rumahmu. Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia.”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang.
Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu menggangu selama 30 tahun, tab pernah ia merasa kecewa atau mengeluh.
Bahkan tak henti-hentinya ia beribadat kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring.
Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil ujamya: “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paiing disukai Allah.” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: “Jika,kalian,telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan.”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan! Karena kematian seorang Mu’min seperti ‘Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-rang yang taqwa.
Pertanda ini merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus.
‘Imran bin Hushain radhiyallah ‘anhu merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan mentaati-Nya.
Walaupun ia beroleh taufik dan petunjuk Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata, ratapnya: “Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja.”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat ruku’ dan sujud, tetapi ibadatnya, dan syukurnya itu belumlah memadai nikmat yang mereka telah terima.
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Rasulullah, kenapa kami ini? Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala.
Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kami berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri?”
Ujar RasuIuIlah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya!
Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu. Tetapi, yah yang demikian itu hanya sewaktu-waktu, !”
Pembicaraan itu kedengaran oleh’Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berhenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun!
Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Robbul’alamin.
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab, ‘Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: “Tidak seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang ke Bashrah, lebih utama dari ‘Imran bin Hushain.”
Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah, ‘Imran tak sudi diganggu oleh sesuatu pun. Ia menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini lagi. Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya….
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara Kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Mu’awiyah, tidak saja ‘Imran bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: “Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah be salah satu pihak, biar meleset atau tidak.”
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya: “Tetaplah tinggal di mesjidmu. Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah di rumahmu. Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia.”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang.
Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu menggangu selama 30 tahun, tab pernah ia merasa kecewa atau mengeluh.
Bahkan tak henti-hentinya ia beribadat kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring.
Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil ujamya: “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paiing disukai Allah.” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: “Jika,kalian,telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan.”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan! Karena kematian seorang Mu’min seperti ‘Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-rang yang taqwa.
0 komentar:
Posting Komentar