I. Pengertian Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS At  Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap  kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan  untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan  kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya  kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih)  dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui  hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang  wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang  jelas (tafshili).  
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan  kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari  dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
II.    Perkembangan  Ilmu Fiqih  
A.      Masa Nabi
Nabi  Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa  dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan,  ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan  diikuti oleh umatnya.
Dalam masa  Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun  kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi  pada diri Nabi dan para sahabatnya. 
Dalam  urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya  kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi  menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi  meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada  peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk  mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah  oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin  mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu  diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa  penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk  memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka  mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati  larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma  tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk  sari pohon kurma, seraya bersabda 
“Kamu  lebih mengetahui urusan duniamu”.
Pada waktu  perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu  kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ?  “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata :  “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat  berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami  mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.
Jadi dalam  hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan  Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan  kemaslahatan.
Para  sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka  tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi  memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad  para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan  pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan  menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya  adalah sebagai berikut :
- Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha  Penyayang kepada dirimu.”  (QS An-Nisa : 29)
Mendengar  jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal  itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
- Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka  tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan  bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah  mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah  dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan  darurat.
- Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi pada  masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya  yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada  ditengah-tengah para sahabat.
B.      Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah  Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya,  maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan  menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut.  Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar  memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada  hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan  berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah  Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua  khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para  sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang  mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum  muslimin.
Pada masa  Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar  dari kota Madinah dengan tujuan  mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum  muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama  sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para  ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Pada masa  Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat  pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula  mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin,  yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur  ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur  Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
“Ikutilah  jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani,  Hakim)
“Maka  bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat  perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku  dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).
Disamping  empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang  dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul  sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf. 
Sahabat  Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah  pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa  hadits. 
Firman Allah dalam QS  At-Taubah : 100 :
“Orang-orang  yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang  Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,  Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
    Hadits  Nabi :
“Saya  adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan  sekalian umatku.”
Para Sahabat itu para murid  yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar  belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar  belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih  bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam.  Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan  diikuti.
Diantara  Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin  yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
- Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
- Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
- Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
- Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
- Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Aisyah, Ummul Mukminin
- Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
- Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10.   Abu Musa Al-Asy’ari,  mengembangkan perguruannya di Basrah.
11.   Ubay bin Ka’ab, pernah  menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
 Karakteristik  Ijtihad masa Sahabat :
1.       Dengan musyawarah diantara  ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli  fiqih) sahabat besar. 
2.       Patuh dan tidak  menyelisihi keputusan Amir.
3.       Tidak berfatwa untuk  sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari   Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal,  maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah  hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita  tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah  terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.
4.       Toleran
Ath-Thabari  meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang  laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa  yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian,  oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi  demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan  urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu  kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku  mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak  (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar  menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali  dan Zaid”. 
5.       Menjauhi pembahasan  ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang  yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C.      Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid  langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua  peranan penting, yaitu :
1.       Mengumpulkan riwayat  hadits dan fatwa sahabat.
2.       Ber ijtihad untuk  masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya  berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari  kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan  Fuqaha di Madinah
- Said bin Al Musayyab
- Urwah bin Zubair
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit
- Abu Bakar bin Abdurrahman
- Sulaiman bin Yasar
- Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan  Fuqaha di Mekkah :
- Atha’ bin Abi Rabah
- Thawus bin Kisan
- Mujahid bin Jabar
- Ubaid bin Umar
- Amru bin Dinar
- Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan  Fuqaha di Basrah :
- Amru bin Salamah
- Abu Maryam al-Hanafy
- Ka’ab bin Sud
- Hasan Al Basri
- Muhammad bin Sirin
- Muslim bin Yasar
Mufti dan  Fuqaha di Kufah :
- Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
- Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
- Syuraih al Qadhy
- Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
- Rabi’ bin Khutsam.
Mufti dan  Fuqaha di Mesir :
- Yazid bin Abi Habib
- Bakir bin Abdillah
- Amru bin Al-Harits
Mufti dan  Fuqaha di Yaman :
- Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
- Abdul Raziq bin Hamman
- Hisyam bin Yusuf
- Muhammad bin Tsur
- Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan  Fuqaha di Baghdad :
- Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
- Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan  Fuqaha di Andalusia :
- Yahya bin Yahya
- Abdul Malik bin Habib
- Baqi bin Makhlad
- Qasim bin Muhammad
- Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha  Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka  adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu  :
- Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
- ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
- Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
- ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
- Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
D.      Masa Tabi’t Tabi’in dan  Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim  bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al  Humaidy,  Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Mufti dan Fuqaha di Madinah  :
Ibnu Sihab Az Zuhri,  Abdurrahman bin Hurmuz, Malik  bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats  Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah  bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy  Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu  Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad  :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid  Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly,  ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al  Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad  bin Idris Asy Syafi’i.
Imam Abu  Hanifah (80-150 H)
Nama  lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H  di kota Kufah pada masa  pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu  Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena  beliau banyak menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah  pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar.  Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat  kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama  mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian  beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu  Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As  Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin  Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin  Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari  qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz  (hafal Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.
Imam  Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah,  Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.”
Imam Malik  berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia,  andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan  dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”
Mengenai  metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya mengambil  Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya  jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari  riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan.  Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya akan  mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain.  Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah  sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya,  maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail bin  Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih  sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari  sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan  cara yang sangat baik”.
Al-Dabussi  dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada  kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan  murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya.  Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke  akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq),  memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam  bentuk illat-illat dan hukum-hukum.”
Imam Abu  Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan  ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat,  sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya  dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal  wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam Abu  hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah  mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin  Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah  menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah.  Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman  karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua  dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti Abbasyah.  Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi  Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam  penjara.
Beliau juga  dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha  memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah  meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan  dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Metode Ijtihad Imam Abu  Hanifah :
- Al-Qur’an
- Hadits dari riwayat kepercayaan.
- Ijma’
- Fatwa Shabat
- Qiyas
- Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
- Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu  Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu  Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh  sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad  bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih  mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas)  lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan  hadits/atsar. 
Kitab-kitab  kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang  Masailul Ushul :
1.       Al-Mabshuth, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
2.       Al-Jami’us Shaghir, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
3.       Al-Jami’ul Kabir, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
4.       As-Sairus Shaghir, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
5.       AS-Sairus Kabir, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
6.       Az-Zidayat, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
7.       Al-Kafi, karya : Abdul  Fadha’ Hammad bin Ahmad.
8.       Al-Mabshuth, karya :  Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang  Masailul Nawadhir :
1.       Dhahirur Riwayah, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
2.       Haruniyat, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
3.       Jurjaniyat, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
4.       Kisaniyat, karya :  Muhammad bin Al Hasan.
5.       Al-Mujarrad, karya : Hasan  bin Ziad.
Tentang  Fatwa wal Waqi’at :
1. An  Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang  Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul  Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.
Imam Malik bin  Anas (93-179 H)
Nama  lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al  Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah  hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
       Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu  Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair,  Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim  secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man.
Ibnu  Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian  rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap  rumahnya, kemudian di jual kepasar”.
       Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi.  Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau  juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada  makam Rasulullah SAW.
       Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa  bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun  usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam  periwayatannya.
       Abu Dawud mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang  diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah  hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya  adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah.  Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al  Musayyab atau Hasan Al Basri.”
Sufyan  mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai  kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam  Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam  Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
       Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum  halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah  disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau  lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan  lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku  untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”.  Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya  menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak  karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya,  “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku  datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik  berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak  menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah  menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.   
       Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya  ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau  sendiri pernah mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri  100.000 hadits”. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan  kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
       Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau  pernah memberi fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”.  Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi  juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah  dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
       Gubernur Madinah, Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam  Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur  memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya  diatas kuda keliling kota  Madinah. Sejak itu  namanya bukannya menjadi cemar,  justru  makin melambung dan harum dimata umat.
       Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta  Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana,  maka Imam Malik berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”.  Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al  Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.
       Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring  manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada  Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik  bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat  Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan  ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan  fatwa-fatwa sahabat, yaitu  : Syada’id Abdullah bin  Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas  Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang  ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat  Abdullah bin Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam Malik  bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
- Ijma’
- Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
- Perkataan Sahabat.
Bila  dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik  mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih  sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab  Mazhab Maliki :
1.       Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2.       Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat  Abdullah bin Umar yang keras)
3.       Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat  Abdullah bin Abbas yang ringan)
4.       Shawazh Abdullah Ibnu  Mas’ud  (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Imam Muhammad  bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)
     Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu  dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas  Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di  Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama  dengan meninggalnya  Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan  dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi  serba kekurangan (miskin). 
       Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh  tahun sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung  Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal  halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin  Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
       Imam Syafi’i kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az  Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab  Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an imam  Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis  tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk  memberi fatwa di Masjidil Haram.
       Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung  kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’  di  Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur  Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan  bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah. 
       Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah  Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan  menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan  keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa  pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al Muwatta’  karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya  menjadi muridnya.
       Imam Syafi’i  kemudian menjadi murid kesayangannya  dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafi’i juga dipercaya mewakili  Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian Imam  Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin  Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk  mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu  Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50  dinar.
       Sesampai di Irak, imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al  Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan  mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al  Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam  Syafi’i meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam  Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari  ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah  bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri  negeri Islam akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh  haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i  selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu  gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
       Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka  tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan  Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang  mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang  salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali  Negeri Yaman mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi  sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan  Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra  dan dua orang putri.
       Di Yaman Imam Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada  Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat  yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
       Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum  Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas.  Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang  Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh  Khalifah Harun Al Rasyid.
       Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al  Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua  orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan,  Imam Syafi’i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa  qaul qadim (pendapat  lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru  kepada beliau mempelajari fiqih.   
       Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi  gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i  ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka  akhirnya Imam Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang Gubernur. 
       Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir  telah  meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui  murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru)  nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan  fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya. 
Metode Ijtihad Imam Syafi’i  :
1.       Al-Qur’an
2.       Hadis
3.       Ijma’
4.       Qiyas
5.       Istidlal
Imam  Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang  mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau  menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan  Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara  mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling  bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i Juga  melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode  maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam  Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafi’i :
1.       Ar Risalah, kitab pertama  yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2.       Al ‘Um (kitab induk),  berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3.       Jami’ul Ilmi.
4.       Ibthalul-Istihsan, berisi  penilaian terhadap metode Istihsan.
5.       Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn  Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat  Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6.       Siyarul Auza’y, berisi  pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7.       Mukhtaliful Hadits, berisi  cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling  bertentangan.
8.       Musnad Imam Syafi’i,  berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.  
Imam Ahmad bin  Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya  meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan  diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota  Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan.  Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun,  pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu  hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria,  Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada  puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang  ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan  Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam Hanbali dikenal sangat  gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara’  dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam Ahmad bin Hanbal hafal  lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”. Sementara anaknya Abdullah bin  Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku telah menuliskan 10.000.000  hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih,  melainkan telah dihafalnya diluar kepala”.
Ketika  pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah  berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan  mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum  Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan  pendapat itu kepada seluruh rakyat. 
Para Ulama  yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua  ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya  ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah  makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa,  dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau  karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di  Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal  tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal  Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan  Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan  progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin  Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri. 
Setelah  Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa  Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan  sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama  Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan  Al-Qur’an.
Khalifah Al  Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal.  Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh  ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.   
Metode  Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1.       Al-Qur’an
2.       Hadits
3.       Ijma’ Sahabat
4.       Fatwa Sahabat
5.       Atsar Tabi’in
6.       Hadits Mursal / Dhaif
7.       Qiyas
Metode  istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits  dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai  berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada  menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab  mazhab Hanbali : 
- Tafsir Al-Qur’an.
- Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
- Kitab Nasikh wal Mansukh.
- AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul Qur’an.
- Kitab At Tarikh.
- Al Manasikul Kabir.
- Al Manasikus Saghir.
- Tha’atur Rasul.
10.         Al-‘Illah.
11.         Kitab Zuhud.
12.         Kitab Ash Shalah.
III.         Ijtihad
Ijtihad adalah  mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum  syara’ dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits).
A.      Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz  (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad  lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz  ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas) dalam metode ijtihadnya,  dengan latar belakang sebagai berikut :
1.       Penduduk Hijaz mewarisi  kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di  Hijaz, seperti ketetapan  Abu Bakar, Umar, Usman, juga  fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu  Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2.       Negeri Hijaz yang berada  di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan  sosial.
3.       Banyaknya Hadits dan atsar  yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis  menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih  mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
4.       Mengikuti guru mereka,  yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan  sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas). 
B.      Aliran Ra’yu
Setelah  terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang  menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan  Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa  tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus  berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu  Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok  Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan  saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu  yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah  Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits  palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah  sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama  Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh  Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan ra’yu (qiyas) dengan  porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi  oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
- Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
- Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran  perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu  hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits)  tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabi’ah  :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”
Said Al  Musayyab: “10 ekor onta”.
Rabi’ah :  Jika dua anak jari ?”
Said Al  Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah :  “Jika tiga anak jari ?”
Said Al  Musayyab :”30 ekor onta”.
Rabi’ah :  “Jika empat anak jari ?”
Said Al  Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah :  ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?”
Said Al  Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan”.
Demikianlah  ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli  ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui  illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana  diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu  anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor. 
Pada suatu  hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auza’i  bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i :  “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal ?”
Abu Hanifah  : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.
Al Auza’i :  “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya  Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat  tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu Hanifah  : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah  dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan  selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i :  “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian  tentang Hammad”.
Abu Hanifah  : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim  lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada  Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar  jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu  hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian  sanad.
Demikianlah beberapa contoh  perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.
C.      Aliran zahiri
Dipelopori  oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna  zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau  memegangi makna lainnya. 
Kalau  digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan  metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih  seperti dibawah ini :
   Hadits                                                                                                                      Qiyas
Tekstualis              Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i - Hanafi           Rasionalis
D.      Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang  sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan  tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan  pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat didalam  Fiqih :
1.       Perbedaan memahami  Al-Qur’an
A.      Adanya ayat-ayat yang  musytarak (lebih dari dua arti).
B.      Adanya ayat-ayat yang  masih mujmal (global).
C.      Adanya ayat-ayat yang ‘Am  (umum)
D.      Adanya perbedaan  penafsiran cakupan lafazh.
E.      Adanya perbedaan  penafsiran makna hakiki-majasi.
F.      Adanya perbedaan pendapat  penggunaan mafhum.
G.     Perbedaan pendapat  memahami ayat perintah dan larangan.
2.       Perbedaan Memahami Hadits
A.      Perbedaan penilaian  kesahihan sebuah hadits ahad.
B.      Perbedaan penilaian  ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C.      Perbedaan sampainya hadits  kepada para Mujtahid.
D.      Perbedaan penafsiran matan  (redaksi) suatu hadits.
E.      Perbedaan penerimaan  hadits dhaif sebagai hujjah.
F.      Perbedaan perimaan hadits  yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3.       Perbedaan Metode Ijtihad.
A.      Imam Abu Hanifah :
a.       Berpegang pada dalalatul  Qur’an 
                                                    i.       Menolak  mafhum mukhalafah 
                                                  ii.       Lafz  umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan 
                                                 iii.      Qiraat Syazzah (bacaan  Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil 
b.       Berpegang pada hadis Nabi 
                                                    i.       Hanya  menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali  diriwayatkan oleh ahli fiqh) 
                                                  ii.       Tidak  hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya 
c.       Berpegang pada qaulus  shahabi (ucapan atau fatwa sahabat) 
d.       Berpegang pada Qiyas 
                                                    i.             mendahulukan  Qiyas dari hadis ahad 
e.       Berpegang pada istihsan  (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B.      Imam Malik 
a. Nash  (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir) 
                                                    i.       zhahir  Nash 
                                                  ii.       menerima  mafhum mukhalafah 
b.  Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah 
c.  Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk  Madinah daripada hadis ahad) 
d.  Qaul  shahabi 
e.       Qiyas 
f.         Istihsan 
g.       Mashlahah al-Mursalah  (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan  intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan  pengakuannya).
C.      Imam Syafi’i
a.       Qur’an dan Sunnah  (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara sejajar,  karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah  satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus Sunnah”.  Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi  menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu) 
b.       Ijma’ 
c.       hadis ahad (jadi, Imam  Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad) 
d.       Qiyas (berbeda dg Imam Abu  Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas) 
e.       Beliau tidak menggunakan  fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar  ijtihadnya 
D.      Imam Ahmad bin Hanbal
a.       An-Nushush (yaitu Qur’an  dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh  Hadis dibawah al-Qur’an) 
menolak  ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i) 
menolak  Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu  Hanifah) 
b.       Berpegang pada Qaulus  shahabi (fatwa sahabat) 
c.       Ijma’ 
d.       Hadis dhaif
e.       Qiyas 
IV.            Pembagian  Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya  “Bidayatul Mujtahid” membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1.       Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1.  Taharah dari hadas
1.1.2.  Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat 
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab I’tikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10.          Kitab Aiman (sumpah)
1.11.          Kitab Nadar
1.12.          Kitab Qurban
1.13.          Kitab Sembelihan
1.14.          Kitab Berburu
1.15.          Kitab Aqiqah
1.16.          Kitab makanan dan minuman  yang haram
2.       Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ila’ (sumpah  talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Li’an  (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang  berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radla’i  (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad  (berkabung)
3.       Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyu’ (jual  beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual  beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli  pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan  untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Bai’il Murabahah  (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Bai’il Ariyah  (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat  (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Ju’li (upah bagi  yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua  laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh  hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah  (berdua saham)
3.12. Kitab Syuf’ah
3.13. Kitab Qismah  (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang  yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang  pailit)
3.17. Kitab Shulhi  (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan  Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah  (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah  (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah  (barang temuan)
3.22. Kitab Wadi’ah  (menitipkan barang)
3.23. Kitab ‘Ariyah  (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi  (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq  (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl  (warisan)
3.29. Kitab ‘Itqi  (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah  (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir  (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad  (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4.       Bagian Inayat wa Uqubat  (pidana)
4.1. Kitab Qisas  (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas,  diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda  pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah  penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah  (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah  (perampokan, penjarahan, perusuh)
5.       Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah  (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah  (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V.    Mujtahid,  Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1.       Mujtahid Mutlaq : yaitu  para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari  Rasul untuk diikuti oleh umat.
2.       Mujtahid Mustaqil : yaitu  para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3.       Mujtahid fil Mazhab :  yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa   masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu  Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab  Syafi’i.
4.       Mujtahid fil Masa’il :  yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan  pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali  dalam mazhab Syafi’I, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5.       Mujtahid Muqaiyad : yaitu  tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah  yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui  seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang  lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam mazhab yang berbeda-beda.  Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi, Ar Rafi’ dan An  Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
B.      Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui bahasa arab  dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf  (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan badi’  (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat),  tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan),  serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui  arti kata-kata sulit yang jarang digunakan. 
Mujahid berkata : “Tidak  diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk  berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui  berbagai dialek bahasa Arab”.
4. Memahami ilmu Al-Qur’an dan  ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits,  atsar sahabat dan tabi’in.
6. Mengetahui Ijma’ masa  Khulafaur Rasyidin. 
7. Mengetahui ilmu fikih dan  ushul fikih.
8.  Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan  qarinah, dhalalah nash, illat hukum, serta tujuan tasyri sehingga mampu  menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
C.      Mufti dan Hakim
Mufti adalah orang yang  memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu masalah, sedangkan  hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan hukum terhadap  suatu sengketa masalah antara dua pihak yang bersengketa. Keduanya sama  sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syara’.
Sedangkan perbedaan antara  mufti dan hakim adalah :
1.       Memberi fatwa lebih luas  lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh  dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat,  orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh orang merdeka,  laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang bersengketa.
2.       Putusan hakim mengikat  kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima  boleh tidak.
3.       Fatwa mufti tidak dapat  membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan  fatwa mufti.
4.       Mufti tidak dapat memberi  putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim harus  memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.
5.       Hakim sebaiknya tidak  memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam  peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang  berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al  Qadhy pernah berkata :
“Saya  memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwa”.
VI.            Ittiba’ dan  Taqlid
Ittiba’ adalah mengikuti  pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen,  dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad)  orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya. 
Imam Ghazali dalam Al  Mustafa mengatakan :
“Ittiba’ dalam agama  disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
Hukum Taqlid :
a.       Taqlid yang wajib : taqlid  kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah  disebut ittiba’.
b.       Taqlid yang haram : 
1.       Tidak menghiraukan nash  syara’ semata-mata lantaran mengikuti  orang tua,  moyang-leluhur.
2.       Taqlid kepada seseorang  yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng  istinbath-kan hukum fiqih.
3.       Taqlid buta karena fanatik  terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat  yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c.       Taqlid yang dibolehkan :  mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai  kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang  tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syara’ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1.       Periode pertama (pasca  masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H), 
2.       Periode kedua dari abad  ke-IV H – abad ke-X H.
3.       Periode ketiga dari abad  ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4.       Periode keempat dari masa  Muhammad Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya masa  taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap  menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1.       Izzudin bin Abdis Salam  (578-660 H).
2.       Ibnu Daqiqil Ied (615-702  H).
3.       Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4.       Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5.       Ibnu Qoyyim Al Jauziah  (691-751 H).
6.       An Nawawi
7.       Al Bulqini (724 – 805 H).
8.       Ibnu Hajar Atsqolani  (773-858 H).
9.       Al Asnawi (714-784 H)
10.         Al Jalalul Mahalli  (791-864 H).
11.         Al Jalalus Suyuthi (846  –911 H).
12.         Ash Shan’ani (abad XII H)  pengarang Subulussalam.
13.         Asy Syaukani (abad XII H)  pengarang Nailul Authar.
14.         Muhammad Abduh, dari Al  Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15.         Rasyid Ridha.
VII.          Ketentuan  Hukum (Mahkum Bih)
A.      Wajib
Yaitu  pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib  terbagi menjadi :
1.       Wajib Muthlaq  = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh :  wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh  syara’.
2.       Wajib  Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu,  puasa ramadhan.
3.       Wajib  Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu,  sholat isak dari petang sampai subuh.
4.       Wajib  Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya  dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5.       Wajib Dzu  Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya  sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah  haji.
6.       Wajib ‘ain =  wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan  oleh atau kepada orang lain.
7.       Wjib Kifayai =  wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu  sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh :  mengurus jenazah.
8.       Wajib  Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9.       Wajib Ghairu  Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah,  wakaf.
10.         Wajib  Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah  dalam shalat.
11.         Wajib  Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah  sumpah.
12.         Wajib Muaddaa  = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13.         Wajib Maqdi =  wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14.         Wajib Mu’aad =  wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang  ditunaikan pertama.
B.    Sunnat
Yaitu bila  dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian  Sunnat :
1.       Sunnat Hadyin  = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan  dan jama’ah.
2.       Sunnat Zaidah  = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh :  makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak  dicela bila ditinggalkan.
3.       Sunnat  Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan),  contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4.       Sunnat Ghairu  Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat  sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C.    Mubah
Yaitu  sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan  untuk perkara yang mubah :
1.       Jangan  berlebihan.
2.       Jangan  membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau  tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana  kemaslahatan yang lain.
3.       Jangan sibuk  dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D.    Makruh
Yaitu bila  dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian  Makruh :
1.       Makruh Tanzih  = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila  ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2.     Makruh Tahrim = makruh yang  dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu  dari hadits ahad.
E.    Haram
Yaitu bila  dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu,  makan daging babi.
VIII.       Obyek Hukum  (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Obyek hukum dalam fiqih  adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal  sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.       Mungkin terjadi / bukan  yang mustahil terjadi.
b.       Sanggup dikerjakan.
c.       Dapat dibedakan.
d.       Diketahui berdasarkan  dalil.
e.       Untuk melaksanakan taat  (ibadah).
Subyek hukum  adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat  beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.       Memahami  perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b.       Baligh  (dewasa).
c.       Berakal  (sadar dan waras).
Halangan –  halangan :
1.       Gila
2.       Setengah  gila
3.       Lupa
4.       Tidur
5.       Pingsan
6.       Mabuk
7.       Sakit,  halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8.       Haid
9.       Nifas
10.   Mati
11.   Safar  (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12.   Silap (tidak  sengaja)
13.   Paksaan
14.   Hujan,  halangan untuk shalat berjama’ah.
15.   Tua renta  pikun.
IX.            Ushul Fiqih
A.      Pengertian
Ushul fiqih adalah kaidah  kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath  (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang  tafshili (jelas). 
Macam-macam dalil :
A.      Dalil naqli (teks) :
1.       Al-Qur’an
2.       Sunnah (Hadits)
B.      Ijma’ (konsensus)
C.      Dalil aqli (akal) 
1.       Qiyas
2.       Istihsan
3.       Maslahah Mursalah
4.       Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An  Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan  Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih  dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
“Taatilah Allah” merujuk  kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk  kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang  urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.
“Kembalikanlah kepada  Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah  dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qur’an dan  atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS  An-Nahl : 44
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar  kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada  mereka agar mereka berpikir.”
Ayat diatas dengan jelas Allah  memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an,  yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber  ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat  (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah  tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya :  “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz  menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’  Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz  menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah  kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz  akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur  ra’yi  Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa.  ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid :  ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan  Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu Dawud).
Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan  ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah,  tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak  ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.
B.    Sumber Hukum Pimer
1.       Al-Qur’an
Al-Qur’an  adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat  Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu  berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan  dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk  lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga  semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan  perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri  Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih,  mantuq-mafhum,  ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna  hakikat-majaz-musytarak). 
2.       Sunnah  (Hadits)
Hadits nabi  merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an  adalah sbb :
1.       Memperkuat hukum yang ada  di Al-Qur’an.
2.       Menerangkan (bayan) hukum  yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.       Merinci hukum yang  disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4.       Mentakhsish (meng  khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5.       Menghapus (nasakh) hukum  yang ada di Al-Qur’an.
6.       Melengkapi hukum yang  belum ada di Al-Qur’an.
Hadist nabi  yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat  Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan  sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke  sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan)  wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan  mukhtaliful hadits).
Demikian  pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada  perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi  bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka  menjadi dzunni dhalalahnya.
C.      Istinbath hukum dari dalil  Al-Qur’an dan Hadits
1.       Kejelasan makna lafazh
Tingkat  kekuatan  kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a.       Zhahir, paling rendah   tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain  (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada  ayat :
“Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)  perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah  wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian  jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”  (QS An-Nisa’ : 3).
Dari segi  “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang  istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih  memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
b.       Nash, lebih jelas dari  zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash  seperti pada ayat :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah  tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas  kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,  jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud  dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak  lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain. 
c.       Mufassar, lebih jelas dari  nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang  sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan  firman Allah :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,  potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas  masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang  menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang  menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
“tidak  dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak  pula pencuri buah-buahan.”
“Tidak  dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”
Demikian  juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri  dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum  potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang  mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d.       Muhkam, paling jelas  karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa  takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :
“Dan janganlah  kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
“Jihad itu terus menerus sampai hari  kiamat.”
Sedangkan lafazh yang tidak  jelas maknanya, terdiri atas :
a.       Al-Khafi, maknanya tidak  jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul). 
Hadits nabi  : “Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh  “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang  sengaja.  Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena  tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak  mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para  Imam mazhab. 
Contoh lain  yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang  secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka  pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan,  karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi  sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian  juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri  (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan  milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat  sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu  Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan  pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong  tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad  bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri  yang harus dihukum potong tangan.
b.       Al-Musykil yaitu lafazh  yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya  lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain,  kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air,  esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan  dalam konteks apa kata itu dirangkai  dengan kata yang lain  menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari  perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu  penafsirannya.
c.       Mujmal (global) yaitu  lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang  banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil  lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan  (mubayyan).
Contohya  tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal  maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh  perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d.  Mutasyabih  yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang  tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu  maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1.       Ayat-ayat mansukh (yang  dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya  dari mushaf.
2.       Ayat-ayat yang mengandung  kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari  Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan”  (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami  telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar  berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu  lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad  bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal  yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3.       Ayat-ayat tentang Asma’  Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah  Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam),  Maha Hidup, dsb. 
4.       Ayat-ayat tentang  perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah  “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah  “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5.       Ayat-ayat tentang anggota  tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”,  “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb
6.       Hakikat sebenarnya tentang  ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur,  surga-neraka, akhirat).
7.       Huruf-huruf  hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang perlu  diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang  memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam  didalamnya tidak ada yang mutasyabih. 
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang  Muhkam – Mutasyabih)
2.       Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A.      Mantuq yaitu makna  berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B.      Mafhum yaitu makna  berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir  yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian  ke makna yang lain. 
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang  bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara  jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada  QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Maka (wajib)  berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu  telah pulang kembali, 
itulah sepuluh  (hari) yang sempurna.” 
Penyifatan  “sepuluh”  dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan  lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2.       Zahir, ialah lafazh yang  menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan  tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir  itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang  tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir  masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya  dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.”  Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu)  dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna  kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih),  sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] :  222 :
“Dan janganlah  kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti haid dinamakan  “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan  kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir)  sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada  makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3.  Mu’awwal,  adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu  dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal  berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab  tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan  mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang  memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna  ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya  dalam QS rendahkan SAYAP
4.  Dalalah  istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang  tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya  pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
     “Maka  jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah  berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
      Ayat ini  memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”,  sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka  dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya  tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
     “Diharamkan  atas kamu ibu-ibumu”
      Ayat ini  memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata  “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu  (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5.  Dalalah  Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang  tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah  [2] ; 187 :
“Dihalalkan  bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu;  mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.  Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu  Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang  campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,  dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang  hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya  puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub,  sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar  sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut  atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan  penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka  membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam  yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti  membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
B.      Mafhum
Mafhum adalah makna yang  ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang  tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua)  jenis :
a.       Mafhum muwafaqah  (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq,  terdiri dari :
1.       Fahwal khitab, yaitu  apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada  mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka  sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua)  perkataan ‘ah’ .”
      Ayat ini  mengharamkan perkataan “ah”  yang tentunya akan menyakiti  hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum  muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih  diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2.       Lahnul Khitab, yaitu  apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS  An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya  orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya  mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
Ayat ini melarang memakan  harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum  muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak,  menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b.       Mafhum Mukhalafah  (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari  mantuq, terdiri dari :
1.       Mafhum sifat, yang  dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
“Hai  orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu  berita maka periksalah dengan teliti … “ 
Ayat ini memerintahkan  bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”.  Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa  berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa,  diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib  diterima.
2.       Mafhum syarat, yaitu  memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
“Dan jika  mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka  berikanlah kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman  perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak  tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3.       Mafhum gayah  (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
“Kemudian jika  suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal  lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “
Dengan pemahaman terbalik,  maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah  lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin  lagi. 
4.       Mafhum hasr (pembatasan,  hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
“Hanya  Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon  pertolongan … “
            Dengan  pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak  boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a.       Ulama-ulama Hanafiah,  menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik). 
b.       Ulama Hanafiyah dan  Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3.       Cakupan Lafazh
A.      ‘Am (umum) – Khas (khusus)
Lafazh ‘Am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya  luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan  makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS  Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya  Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan keumuman lafazh  “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji  Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar  menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita  lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan nuh  berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya  anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab  permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya,  yaitu  QS Hud [11] : 46 :
“Allah  berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang  dijanjikan akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini  mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan  akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
1.       Lafazh man (siapa), ma  (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat  tanya (istifham) :
2.       Lafazh ma (apa saja)   dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a.       QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan apa saja  harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan  diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”
b.       QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa  yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai)  dengan kejahatan itu.”
3.       Lafazh kullun (tiap-tiap)  dan jami’un (seluruh)
a.       QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap  yang berjiwa akan mengalami mati.”
b.       QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah Allah  yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4.       Lafazh ayyun (mana saja)  yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’  [17] : 110 :
“Dengan nama  yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5.       Lafazh yang bersifat  nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi)  atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] :  48 :
a.       QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah  dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak  dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”
b.       QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka,  sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan  janganlah kamu membentak mereka.”
6.       Lafazh ma’syara,  ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
a.  QS  Al-An’am [6] : 130 :
             “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu  Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat  Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini  … ?”
b.       QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan  perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah  memerangi kamu semuanya.”
7.       Isim berbentuk jama’ yang  diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS  Al-Ma’idah [5] : 42 :
“Sesungguhnya  Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8.       Isim yang dinisbatkan  (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim  [14] : 34 :
“Dan jika kamu  menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9.       Isim-isim yang berfungsi  sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina,  al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya  orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya  mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”
10.         ‘Amr (perintah) dengan  bentuk jama’ (plural)
Contohnya pada QS  Al-Baqarah [2] : 43 :
“Dan  dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang  yang ruku’ “.
Macam-macam penggunaan  lafazh ‘am (umum) :
a.       ‘Am yang tetap dimaksudkan  untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu  tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak  seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu  (mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu  bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b.       ‘Am tetapi yang  dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali  –Imran [3] : 39 :
“Kemudian  malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang  di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat  diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c.       ‘Am yang mendapat  peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] :  97 :
“Mengerjakan  haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua  manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan  Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan  dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah)  makna.
Takhsis adalah mengeluarkan  sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis  (peng khusus).
1.       Mukhashshish Muttashil  (peng khusus yang bersambung)
a.       Istitsna (pengecualian),  contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan  orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan  mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang  menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian  mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang  bertaubat … “ 
b.       Sifat, contohnya pada QS  An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan  diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam  pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi,  yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum  disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini. 
c.       Syarat, contohnya pada QS  Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan  atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)  maut, jika ia meninggalkan  harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat  secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia  meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak  meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d.       Batas, contohnya dalam QS  Al-Baqarah [2] : 196 :
“Dan janganlah  kamu mencukur kepalamu, sebelum  kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban  sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut  kepala saat haji.
e.       Mengganti sebagian dari  keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji  adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2.       Mukhashshish Munfashil ,  yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a.       Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita  yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat tersebut bersifat  umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil  maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh  dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan  perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai  mereka melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS  Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila kamu  menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka  sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka  ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
b.       Hadits (men takhsis  Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan  jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli  adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu  Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari  persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain  disebutkan :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya  Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh  yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah  jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli  binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan  anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
c.       Ijma’ (men takhsis  Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’  [4] : 11 :
“Allah  mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu  bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan  secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.
d.       Qiyas (men takhsis  Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2  :
“Perempuan  yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang  dari keduanya seratus kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan  bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak  yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan  yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka  mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman  wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e.       Akal (men takhsis  Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du  [13] : 6 :
“Allah adalah  pencipta segala sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah  bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f.         Indera (men takhsis  Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27]  : 23 :
“Sesungguhnya  aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia  dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan  segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak  seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g.  Siyaq  (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq  adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang  sesudahnya.
Contohnya  takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan  tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil)  tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam ayat  tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu  kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu  adalah penduduknya.
Hukum  lafazh ‘am, khas dan takhsis :
1.       Apabila didalam ayat  Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya  dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil  yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2.       Apabila lafazh itu  bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya  (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke  umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup  makna itu secara mutlak.
3.       Apabila lafazh itu  bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu  hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu  dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum  tersebut.
4.       Takhsis jenis syarat,  ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum. 
5.       Ulama Hanafiah berpendapat  takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B.      Mujmal (global) – Mubayyan  (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits  adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang  masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh  yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh  yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran  (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan  atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain  kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang  menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang  sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan  berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1.       Mubayyan Muttashil, adalah  mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya  dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang  kemudian dijelaskan dalam satu nash;
“Mereka  meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi  fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan  ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi  saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya  dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara  perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan  itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang  ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri  dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang  saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah  menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha  Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang  meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil  oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
“Kalalah adalah orang yang  tidak mempunyai anak.”
2.       Mubayyan Munfashil, adalah  bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu  nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.  Dalam hal ini bisa berupa :
a.       Dari ayat Al-Qur’an yang  lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
“…Padahal  tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang  mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang  mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Kalimat “Allah dan  orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena ambigutias huruf  wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata penghubung (‘athaf) atau  Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika kata “dan” dianggap  sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah “hanya  Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”.  Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka  konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui takwilnya” sedangkan  orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu takwilnya-  berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena  itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat  dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 : 
“Kami turunkan  kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat ini menunjukkan  Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia,  termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah)  dari ayat ini huruf  “dan” pada  QS Ali-Imran  [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah “yang  mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang  yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat  demikian.
b.       Dari Sunnah (hadits),  contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
“Siapkanlah  untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “
                  Kata  “kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang  dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
“Saya mendengar Rasulullah  bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah  untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah,  sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan  itu adalah panah.’ ”
Macam-macam bayan  (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1.       Penjelasan dengan  perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Tetapi jika  ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib  berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu  telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat tersebut merupakan  bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai  kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang  tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2.       Penjelasan dengan  perbuatan (bayan fi’li)
Contohnya Rasulullah  melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu :  memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah  mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3.       Penjelasan dengan  perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS  Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan  dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan  sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh  penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk  menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat  hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana  kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
4.       Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran  zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat  (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan  dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5.       Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti  penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh  Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh  jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang  maksudnya dua puluh sembilan hari.
6.       Penjelasan dengan  meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut  pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang  relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau  meninggalkannya.
7.       Penjelasan dengan diam  (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah  melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan  kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau  memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya.  Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan,  itu  artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8.       Penjelasan dengan semua  pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah  ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang  menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan  ta’wil yang lain baginya. 
Apabila datang penjelasan  (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang  sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar  (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh  shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1.       Mufassar oleh zatnya  sendiri
Yaitu lafazh yang sighat  (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas  kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang  meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya  pada QS An-nur [24] : 4 :
“Maka deralah  mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah  lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung  kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS  At-Taubah [9] : 36 :
“Perangilah  orang-orang musyrik itu semuanya.”
Kata “semuanya” itu adalah  mufassar.
2.       Mufassar oleh lafazh  lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya  global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain  secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil  lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat,  shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian  Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan  perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami  bersama pengertian dan tata caranya.
C.      Mutlaq (tanpa batasan) –  Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang  menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam  QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan  orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik  kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan  seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa  dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir. 
Muqayyad adalah lafazh yang  menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya  dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak  layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali  karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang  mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang  beriman”
Lafazh “budak” diatas  dibatasi dengan “yang beriman”
Macam-macam mutlaq-muqayyad  dan hukumnya masing-masing :
1.        Lafazh yang mutlaq tetap  pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya  (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka  dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan  pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’  [4] : 11 :
“(Pembagian  harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah  dibayar hutangnya.”
Wasiat yang dimaksud  dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya,  minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash  hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga  harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi  tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari  batas sepertiga dari harta pusaka.”
2.        Sebab dan hukumya sama,  maka pengetian lafazh mutlaq  dibawa ke kepada makna muqayyad.
      Contohnya  pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
      “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan  daging babi.”
      Lafazh  “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan. 
      Pada QS  Al-An’am [6] : 145 :
      “Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa  yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi  orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau  darah yang mengalir atau daging babi.”
      Lafazh  “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh  “yang mengalir.”
      Karena  ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS  Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad,  yaitu “darah yang mengalir.”
3.        Sebab dan hukum salah satu  atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai  dengan ke mutlaqannya.
a.  Sebab sama  tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 : 
      “….Maka  bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan  tanganmu dengan tanah itu”
     Dalam hal  tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
      Namun  mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Hai  orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,  basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu  sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.  
Kedua nash diatas mempunyai  sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan  yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan  hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6  adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b.  Hukum sama  tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
“Apabila  mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka  rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik  dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat  ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah  [2] : 282 :
“Apabila kamu  berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu  menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki  (diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat  ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.
            Kedua  ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang  saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS  At-Thalaq [65] : 2  ialah “rujuk pada istri” sedangkan  sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.
c.       Hukum dan sebab keduanya  berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki  yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila dibandingkan dengan QS  Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat  ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang  potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq -  muayyad :
-   - Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
- Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
- Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
 
4.  Kaidah  Makna Kata
a.       Makna Hakikat yaitu makna  lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernyta” maka kata  “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. 
b.       Makna Majaz yaitu makna  kiasan. Pada kalimat  “Singa padang pasir menerkam musuhnya  dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang  yang dikenal berani.
c.       Musytarak yaitu kata yang  punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya  makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya  perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan  pendapat. 
(Baca kembali Ushul Tafsir  point VIII)
5.  Amr  (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat  berdampak hukum :
a.       Menunjukkan wajib.
b.       Menunjukkan sunah.
c.       Menunjukkan suruhan saja.
d.       Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut  Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a.       Larangan karena diri  perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan  sholat.
b.       Larangan karena sesuatu  bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih  dalam perut induknya.
c.       Larangan lantaran sesuatu  sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul  Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari  raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d.       Laranga karena sesuatu  sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat  Jum’at dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir  point VII)
6. Pertentangan dan  Kompromi Antar Dalil
a.       Ta’arudl 
Yaitu  pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
“Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya,  wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara  keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk  mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat  ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu dan  mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang  menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka  ditangguhkan.”
b.       Kompromi
Firman Allah pada QS  Al-Baqarah : 180 
 “Diwajibkan  atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)  maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak  dan karib kerabatnya yang dekat”
Firman Allah pada QS  An-Nisa’ : 11 
“Allah  memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi  lelaki adalah seperti bagian dua wanita ….. “
Ayat  pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan  ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal.  Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan  padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu  apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai  sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat  warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan  harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat  Islam.
c.       Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil  yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat  (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh). 
Prinsip-prinsipnya :
1.       Al-Qur’an lebih kuat dari  Hadits
2.       Hadits Mutawatir lebih  kuat dari hadits Masyhur
3.       Hadits Masyhur lebih kuat  dari hadits ahad
4.       Hadits sahih lebih kuat  dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5.       Hadits Mutafaq alaih  (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau  muslim saja.
6.       Hadits Marfu’ (disandarkan  kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada  Sahabat)
7.       Sanad yang tinggi lebih  kuat dari sanad yang lebih rendah.
8.       Apabila berlawanan antara  yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan  (untuk kehati-hatian).
9.       Apabila berlawanan anatara  yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10.   Mempelajari asbabun nuzul  atau asbabul wurudnya.
(Baca  kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d.       Nasakh
Apabila  tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang  datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang  terkemudian menasakh yang terkemudian.  
1.       Nasakh Sharih, bila ada  penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
“Aku  dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah  kubur karenaitu mengingatkan kamu kepada akhirat.”
2.       Nasakh Dlimmy, menetapkan  hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca  kembali Ushul Tafsir point V)
D.      Qowaid Fiqiyah (Kaidah  Fiqih)
Setiap yang mempelajari  ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa  kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang bersesuaian  dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat  diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan  membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih  berkata :
“Apabila kaidah-kaidah  fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’  (hukum fikih)” 
Kaidah Fikih Global :
“Mengambil  maslahat dan menolak masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima)  yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang  banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : “segala  sesuatu bergantung kepada niat”
Dasarnya hadis nabi “Sesungguhnya  segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang  itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya” 
Kaidah Pokok ke-2 : “yang  yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
Dasarnya hadis nabi “Apabila  seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi  apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah  keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bau”
“Apabila seseorang dari  kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang  telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah  keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakini. 
Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam  kesempitan ada kelapangan”
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185  : “Allah menghendaki kemudahan bagimu  dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.” 
QS Al-Haj :78 : “Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam  agama” Hadis nabi “Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah  agama yang benar dan mudah” 
Hadits nabi : “Mudahkanlah jangan dipersukar.”
Kaidah Pokok ke-4 :  “Kemudhorotan harus dihilangkan”
Dasarnya Firman Allah “Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di  muka bumi” 
dan ayat “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang  yang membuat kerusakan” 
kemudian hadis nabi “tidak  boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan  pada orang lain”
Kaidah Pokok ke-5 : “Adat  dapat dijadikan hukum”
Dasarnya ayat “Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut”  dan hadis nabi “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka  baik pula disisi Allah”
Dari lima kaidah pokok  diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya  (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih  diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil)  harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih  antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan  yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram  juga haram.
6. Kemudhorotan harus  dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa  melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala  sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah  ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua  perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah  menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu’  (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan  masalah ushul  dan atau yang qoth’i)
12. Hak keuntungan ada  bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif)  lebih utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat  meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E.      Sumber Hukum Sekunder
3.       Ijma
Ijma adalah kesepakatan  (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap  suatu hukum syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.
Dalil yang menjadi dasar  Ijma’ :
Firman Allah dalam QS An  Nisa’ [4] : 59
“Taatilah  Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”
“Taatilah  Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah  Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan  Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’  (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
“Apa  yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan  Allah.”
“Umatku  tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
“Ingatlah,  barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah)  jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia  akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang  yang menyendiri.”
a.  Ijma’  Sahabat
Khalifah  Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya,  maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan  menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut,  bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar  memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada  hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan  berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah  Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua  khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya  masih berada di Kota Mekkah. Ijma’ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar  dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti  oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijma’  Ulama Mujtahid
Para  sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat  Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota  yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang  didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya  masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama  dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Masing-masing  imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi  pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam  Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik  menghargai ijma’ ulama Madinah.
Tingkatan  Ijma’ :
a.       Ijma’ Sharih, jika semua  ulama menyatakan kesepakatannya.
b.       Ijma’ Sukuti, jika seorang  mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut  diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang  ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang  mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat  dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan  kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.
4.       Qaul Sahabi  (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS  At-Taubah : 100 :
“Orang-orang  yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang  Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,  Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
           Hadits  Nabi :
            “Saya  adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan  sekalian umatku.”
             Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila ada  konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan  pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari  tabi’in maka saya teliti.”
5.  Qiyas
Qiyas  adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa  dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits.  Contohnya  menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr  (arak).
Dasar  kehujjahan Qiyas :
a.  Firman  Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan  Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih  dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
“Kembalikanlah  kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya  bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang  telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan atau Sunnah Rasul-Nya  (Hadits).
b.       Firman Allah dalam QS  Al-Baqarah : 179 :
“Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.
Dalam ayat  diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada  jaminan hidup bagi manusia.
c.       Firman Allah dalam QS  Al-Maidah : 91 :
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan  permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan  berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka  berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi  dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian,  juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits –  Hadits Nabi :
1.       Dari Umar bin Khatab :  “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku,  sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda : ‘Bagaimana  menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang  berpuasa ?’. ‘Hal itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa (kamu  menanyakan) ?’ Jawab Rasulullah”. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat  diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika  berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung  persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap  membatalkan.
2.       “Seorang wanita dari  qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya Rasulullah,  ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat  mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban  mengerjakan haji untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan haji  untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu  yang paling patut melunasinya ? ‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata :  ‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk  dipenuhi’ ”. (HR Bukhary dan Nasa’i).
Riwayat  diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum  dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat  Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai  gubernur Basrah :
“Lihatlah  banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang  semacam itu”.
Rukun Qiyas ada 4 (empat)  yaitu :
1.       Asal, yaitu perkara yang  sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an dan hadits.
2.       Furu’, yaitu cabang yang  hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3.       Hukum, yaitu hukum yang  sudah diketahui pada asal.
4.       Illat, yaitu sebab yang  sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada  hukum  furu’.
Syarat-syarat qiyas :
a.       Hukum asal tidak dinasakh.
b.       Hukum asal jelas nashnya.
c.       Hukum asal dapat  diterapkan pada qiyas.
d.       Hukum cabang tidak boleh  mendahului hukum asal.
e.       Mempunyai illat yang sama.
f.         Hukum cabang sama dengan  hukum asal.
g.       Ada illat ada hukum, tidak  ada illat tidak ada hukum.
h.       Illat tidak boleh  bertentangan atau menyalahi syara’.
Macam-macam Qiyas :
1.       Qiyas Aula / Awlawi /  Qath’i
Yaitu qiyas  hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang. 
Contoh,  Nabi bersabda : 
“Kedua mata  itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur  terlepaslah tali”.
Kita  pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal  lebih patut membatalkan wudhu.   
2.       Qiyas Musawi
Yaitu  mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut  menerima hukum tersebut.
Contohnya  dalam QS An-Nisa’ : 25 :
“Maka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang  dikenakan atas wanita-wanita yang merdeka”.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera   budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu  separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3.       Qiyas Adna / Adwan
Yaitu  meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan  kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu. 
Misalnya  kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada  khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4.       Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas  yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan  asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya  mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta  orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5.       Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas  illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang  menyebabkan hukum pada asal.
6.       Qiyas fi Ma’nal Ashli
Yaitu qiyas  yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya  mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita  dengan illat sama-sama budak.
7.       Qiyas Syabah
Yaitu qiyas  yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang  dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal,  yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan  yang banyak persamaannya.
Misalnya,  seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi,  berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan  binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan  dan diwakafkan.
8.       Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik  dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu’  diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan  haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan ‘cis’,  dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9.       Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik  dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan  pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10.         Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui  illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan  jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang  mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11.         Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan  antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta  wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12.         Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak  ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya  karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
“Dan  pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya :  ‘Apakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi :  ‘Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram,  adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal,  ada pahala baginya”. (HR Muslim).
13.         Qiyas Ikhlati wal  Munasabati
Qiyas yang  menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara  dasar maksud.
a.       Qiyas Muatstsir
Qiyas yang  illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang  atau dengan isyarat  atau dengan ijma’.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah  yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada  penghuninya”. 
Sehubungan  dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan  semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mata”.
b.       Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan  menjama’ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu  menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab  bolehnya jama’. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.
14.         Qiyas Mulaim
Qiyas yang  jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya,  wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan  kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi  ada keterangan dari syara’ bahwa kesukaran itu meringankan hukum. 
15.         Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang  dibina atas illat yang tidak tegas syara’ membolehkan atau menolaknya.
Misalnya,  wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima  warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada  pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat  warisan.  
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
6.  Istihsan
       yaitu :  keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas  sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan  maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7.  Mashlahah  mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas  kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara’ dengan jalan  mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau  meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8.  Istihshab
       Yaitu  mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang  masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian  ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap  masih punya wudhu.
9.  Istidlal
       Yaitu  pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan  penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan  rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia  tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah. 
10.  Sadudz  Dzariah
       Yaitu  mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan  atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram,  maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram  ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju  zina 
11.  Urf
       yaitu  kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak  menyalahi syara’, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga  bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual  ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos  kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
 12. Adah
       yaitu  sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
 13.  Ta’amul
       yaitu  adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
 14. Bara’ah  Ashliyah
       yaitu :  bebas dari hukum yang memberatkan
 15.  Istiqra’
       yaitu  memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan  dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan  diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas  kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
 16.  At-Taharri
       yaitu  mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
 17.  Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah
       yaitu  menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
 18.  Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu  bi ‘itibaaril     mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum  dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada  urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki  Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
 19.  Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
          Yaitu  berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya  keadaan dan jaman.
          Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah  Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjama’ah  dibawah satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak  memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan  pertimbangan Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan  kepada prajurit yang menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi  yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan  kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
 20.  Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
       yaitu  berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak  memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila  mereka murtad maka dibunuh
 21.  Al Ishmah
       yaitu  menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum  syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk  menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
 22.  Syar’u man qablana
       yaitu :  hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka  juga menjadi syariat kita.
 23.  Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar
       yaitu  beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
 24.  Al akhdzu bil ihtiyath
       yaitu  memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
 25. Al  Qur’ah
       yaitu  menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling  berbantah-bantahan
 26. Al  ‘amalu bil ashli
       yaitu  mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
 27.  Ma’qulun nash
yaitu mengamalkan dari apa  yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual  maka dibawa ke makna majasi.
 28.  Syahadatul qalbi
       yaitu  dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah  fatwa kepada hatimu”
 29.  Tahkimul hal
   yaitu menyerahkan  keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku 
 30.  ‘Umumul balwa
       yaitu  membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
 31.  Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini
       yaitu  memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua  anak dengan melihat kemiripannya
 32.  Dalalatul iqtiran
       yaitu  menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam  malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan  bighal dan keledai”
 33.  Dalalatul ilhami
       yaitu  sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan  soleh
dasarnya hadis nabi  “berhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat  dengan cahaya Allah”
 34.  Ru’yan nabi
  yaitu berpegang kepada apa  yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi :  “mimpi  seorang muslim itu 1/46 kenabian”
 35.  Al akhdzu bi aisari maa qilaa
       yaitu  mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
 36.  Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
       yaitu  mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
 37.  Faqdud dalil ba’dal fihshi
       yaitu  menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil  yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X.    Maqashid  Syari’ah (Tujuan Syara’)
Melalui penelitian yang  mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud,  tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan  dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui  maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.   
Tuhan tidak mensyariatkan  hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’ bermaksud dengan  hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat  memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud  oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa  petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang  kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk  mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud  syara’ (maqashid syari’ah).
Segala hukum muamalah,  akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu  berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat  terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah  dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
“Dasar syariat ialah  kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil,  semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar  dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada  masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu  adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara  makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan  kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.    
Maksud-maksud syara’ yang  umum :
1.  Memelihara  segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan  mereka, yaitu : 
a.  Memelihara Agama (dien).
b.  Memelihara Nyawa (nafs).
c.  Memelihara Akal (aqlu).
d.  Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e.  Memelihara Harta (mal).
Apabila  yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan,  timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2.       Menyempurnakan segala yang  dihajati manusia.
Yaitu  segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat  menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban  hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan  hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan  kesukaran saja.
Segala yang  dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa  kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan  hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera  tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat  dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syara’
1.       Tingkat Dharuriyah.
Yaitu  tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan  pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan  agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak  agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan  agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila  tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan  dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah  serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat  tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila  tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan  penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita  rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan  tentu rusak maslahat harta.
2.       Tingkat Hajiyah
Yaitu  segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak  kesempitan. 
Umapamanya  untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam  safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.
3.       Tingkat Tahsiniah.
Yaitu  tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak  menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan  kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk  memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik. 
XI.       Masalah  Ushul (pokok) – Furu’ (cabang)
A.      Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok)  adalah masalah yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang  enam. Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang menerangkan  hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain)  dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i (pasti).
Seorang muslim dalam  masalah ushul ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya). Salah dalam  I’tikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar  dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman  atau kafir.
Contoh-contoh masalah  ushul : 
a.       Tidak ada tuhan selain  Allah.
b.       Allah tidak beranak dan  tidak diperanakkan.
c.       Allah satu satunya tempat  bergantung.
d.       Tauhid Rububiyah (meyakini  Allah satu satunya pencipta)
e.       Tauhid Uluhiyah (meyakini  Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
f.         Tauhid Mulkiyah (meyakini  Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh  makhluk-Nya).
g.       Mengimani kebenaran dan  kesucian Al-Qur’an.
h.       Mengimani kebenaran Nabi  Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i.         Mengimani  Malaikat-malaikat Allah
j.         Mengimani adanya akhirat  (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k.       Mengimani adanya takdir  yang baik dan buruk. 
l.         Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam  point terakhir)
Masalah ushul yaitu akidah  ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, I’tikad-tauhid  merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan  penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat  dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat,  mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada  toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan  mencelah para pelaku bid’ah akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat,  Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah (baca  kembali Ilmu Kalam). 
Kelompok sempalan dalam  masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh  hadits Nabi :
“Umatku akan  terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang  selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para  sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab :  ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi,  ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu  yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan  para sahabatku’ “
B.      Masalah Furu’ (cabang)
Masalah Furu’ (cabang)  adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara  ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah  furu’ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas  kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furu’iyah ini tidak semua  dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal,  masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih  musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan  cakupan  lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi  penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah  furu’iyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya.  Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan  muijtahid. Jadi dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini hendaknya setiap  muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap  paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang  lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain  yang tidak sependapat. Dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini yang ada  adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat  satu pahala. 
Contoh-contoh masalah  Furu’
a.       Detail tata cara sholat
b.       Fiqih Zakat
c.       Fiqih Puasa
d.       Fiqih Haji
e.       Fiqih Jual-Beli
f.         Fiqih Sewa-Menyewa
g.       Fiqih muamalah
h.       Urusan duniawiyah
i.         Dan lain-lain.
Masalah furu’ itu ibarat  ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus  satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam  cabang. Jadi dalam masalah furu’ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada  perbedaan pendapat.
XII.      Dalil  Qath’i (pasti) – Dzani (dugaan)
A.      Dalil Qath’i (pasti)
Dalil disebut Qath’i  (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1.       Qath’i wurudnya  (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir
2.       Qath’i dhalalah-nya  (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi  penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat  Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i  diatas maka menjadi dalil  Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa  reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik,  tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul  dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya  tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i  sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat  dalam hal tersebut, contohnya :
a.       Hukum haram bagi daging  babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b.       Hukum rajam bagi pezina  mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson  (belum pernah menikah).
c.       Hukum Qisash (balas bunuh)  bagi pembunuhan yang disengaja.
d.       Hukum potong tangan bagi  pencuri.
e.       Hukum dera 80 kali bagi  orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f.         Hukum potong tangan, kaki  dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok,  penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B.      Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil  yang tidak memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :
1.       Dzani wurudnya (sumbernya)  yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2.       Dzani Dhalalahnya  (petunjuk lafazhnya) yaitu :  masih ada kemungkinan multi  penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan  lafazhnya.
Kebanyakan masalah furu’  yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa  sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan  tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII.       Tentang Bid’ah
Pembahasan tentang bid’ah  merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan  pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah  satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai  kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada  yang menjadikan kata bid’ah  sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku  bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain. 
A. Pengertian Bid’ah  Secara Bahasa
Secara bahasa bid’ah itu  berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan  memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang  baru yang belum pernah ada pada masa Nabi. 
B. Pengertian Bid’ah  Secara Istilah.
Secara istilah, bid’ah itu  didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan.  Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda.  Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun  jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan  batasannya.
Sultonu Ulama, Imam  Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i  (wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah  adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah  SAW.
Dalam Ensiklopedi Fiqih  jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21  disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam  mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di  masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat  atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua  bid’ah adalah sesat. 
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap  bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah  meski hukumnya tidak selalu  sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya 
Di antara para ulama yang  mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan  pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu  Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan  Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti  Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu  Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman  Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah  berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah  Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu menghimpun  orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu  itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan itu tidak  ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar  masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini. 
Ibnu Umar juga menyebut  shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah  hasanah atau bid’ah yang baik. 
Hadits yang  mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan  sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang  mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah  sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang  yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.
Dalam Kitab Fathul Bari  karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1.   Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah  berkata :
“Bid’ah  itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah  terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela  adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.
2. Imam  Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i  pernah berkata :
“Perkara  baru (bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang  atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini  dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang  tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga,  tetapi tidak tercela.” 
3.  Tentang  bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang  begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum  bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah,  haram).  
Bisa kita nukil pendapat  Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang  tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum,  yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah  makruh dan bid’ah mubah.
c.  Contoh-contohnya  : 
Bid’ah yang  wajib : 
-          Membukukan mushaf  Al-Qur’an.
-          Membukukan hadits Nabi  (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena  khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).
-          Kodifikasi, perumusan dan  penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti :  ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih, ilmu kalam  (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah,  ilmu tasawuf.
-          Mempelajari teknologi  militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bid’ah yang  haram :
-          Bid’ah dalam masalah  akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a.       Khawarij yang memisahkan  diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka  anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya  dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b.       Syiah Ghulat yang  mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak  kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang  pernah berseteru melawan Ali.
c.       Murjiah yang mempunyai  keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak  termasuk iman.
d.       Qadariyah yang menolak  takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e.       Mujasimah dan Musyabbihah  yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f.         Mua’tillah yang menolak  sifat-sifat Allah.
g.       Mu’tazilah yang mengatakan  Al-Qur’an adalah makhluk. 
-    Bid’ah dalam ibadah,  seperti :
a.       Menambah atau mengurangi  jumlah rokaat shalat lima waktu.
b.       Shalat dengan tambaan  bacaan bahasa Indonesia.
c.       Puasa sehari penuh (tidak  berbuka saat maghrib).
d.       Mewajibkan zakat terhadap  barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e.       Melakukan haji tidak ke  Mekkah.
-          Bid’ah yang Sunnah :
a.       Shalat Tarawih berjama’ah.
b.       Adzan pertama pada shalat  Jum’at.
c.       Mengadakan pengajian  Maulid Nabi.
d.       Mendirikan  sekolah/madrasah/majelis ta’lim.
-          Bid’ah yang Makruh :
a.       Menghias masjid.
b.       Menetapkan waktu tertentu  untuk ibadah.
c.       Perdebatan yang sengit  dalam masalah khilafiah.
d.       Sistem pemerintahan yang  monarki.
e.       Melakukan ibadah  (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
-          Bid’ah yang Mubah :
a.       Makan menggunakan sendok.
b.       Memakai pakaian yang  bagus.
c.       Membuat rumah yang besar.
d.       Menggunakan peralatan  modern.
e.       Dzikir berjama’ah.
f.         Bersalam-salaman setelah  shalat berjama’ah.
Kelompok Kedua
Kelompok ini menganggap  bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat,  berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits “Semua perkara  baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”
Kelompok ini menganggap  semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah dhalalah.  Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai  “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang  haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib. 
a. Tokoh 
Di antara mereka yang  berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam  Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada  Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan  kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil 
Dalil yang mereka gunakan  adalah: 
Bahwa Alloh SWT telah  menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada  hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan  kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”  (QS  Al-Maidah: 3) 
Hadits Nabi :
“Bahwa semua perkara baru  (bid’ah) itu adalah sesat”. 
“Barang siapa yang  mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka  amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)
c. Contoh :
-          Maulud Nabi tidak ada di  jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-          Dzikir berjama’ah tidak  ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-          Pemilu tidak ada di jaman  Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-          Tahlilan tidak ada dijaman  Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Tahqiq :
1.       Kedua kelompok sepakat  bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang  menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bid’ah dhalalah.
2.       Perbedaan pendapat terjadi  pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung  unsur agama, contohnya :
a.       Shalat Jum’ah dengan  Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.
b.       Shalat  Sunah  berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.
c.       Dzikir berjama’h itu  bid’ah dhalalah atau tidak.
d.       Peringatan maulid Nabi itu  bid’ah dhalalah atau tidak.
e.       Tradisi tahlilan pada hari  ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.
3.       Hadits nabi “Semua  perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”  Secara  tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah  bid’ah dhalalah. 
Petunjuk  lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih  memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada  takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah  maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya  hingga hari qiyamat.
Jadi tidak  “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah  hasanah.
4.       Riwayat-atsar yang  menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal  dijaman Nabi :
a.       Khalifah Abu Bakar  mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan  tidak ada contohnya dari Nabi.
b.       Khalifah Usman menyatukan  Al-Qur’an dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c.       Khalifah Usman menambahkan  adan menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya adan pertama untuk  mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah dekat.
d.       Khalifah Umar bin Khatab  melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum  pernah dilakukan di jaman Nabi.
e.       Khalifah Umar bin Khatab  tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal  mereka  jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan  Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru  masuk Islam.
f.         Khalifah Umar tidak  memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g.       Khalifah Umar menetapkan  orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa  itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang  menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu  Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h.       Khalifah Umar tidak  membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan  perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan  tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i.         Ibnu Umar menyebut bahwa  shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah  yang baik. 
j.         Khalifah Umar bin Abdul  Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan  hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).
Semua atsar  diatas menunjukkan bahwa tidak  semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki  dulu faktor maslahat dan  manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya. 
5.       Jadi jangan gampang  memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan  terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan  kemaslahatan yang nyata.
6.       Tentang adat, tradisi atau  perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content  (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa  syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru  itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah  divonis sebagai bid’ah dhalalah.
XIV.      Ikhtilaf dan  Toleransi
Dalam masalah ushul, atau  masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada perbedaan  pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi.  Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka  setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya  jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran  kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah, yaitu   kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah,  Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.
Dalam masalah furu’ yang  dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan  perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau  fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan  pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber  toleransi. 
Perbedaan pendapat dalam  masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak  jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para  generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah  dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling  menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi  (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak  mudah “menghukumi haram” terhadap  suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum  haramnya.
Berikut ini  riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah  ikhtilaf :
Khalifah Harun Al Rasyid  pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’  sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah  tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena  sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota  dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi  manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah  ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal  berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka  membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah  engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak  berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata :  “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said  Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari  hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi  manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda  dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy  meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang  seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang  menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa  membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam  Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan  kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”.  Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas  memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di  kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang  kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik  bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat  hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash  qath’i yang tegas mengharamkannya.  
Imam Al Auza’i (mufti dan  fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang  mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana  hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila  dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.
Imam Ahmad bin Hanbal  berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya  tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.
Suatu hari, ada perbedaan  perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in tentang  hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ?  Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Mu’in  : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits yang  diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin  Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari  Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu  Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat  Ammar bin Yasir.
Menanggapi kejadian itu,  Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar dan  Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”
Ibnu Qudamah dalam kitab  Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin  Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang  orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum  fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i  hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat,  para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada  yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu.  Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’).  Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat  atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui  oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad :  shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu  Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal  karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu  Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian  langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat  Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal  wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah  Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafi’i dalam qaul  qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis,  suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara  dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang  melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I menjawab : “Saat  dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu  Hanifah)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu  Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan  (membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap  bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan  “Bismillahirrahmanirrahim”
Diriwayatkan dari Abu  Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin  Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam  Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah  perceraian.  Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui  dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.
Lalu Al Hushain meminta  jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada  saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian)  ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian para ulama  Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu memang ada beberapa ulama  Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. “Apakah  kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?” maka  Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.
Baihaqi dalam Sunan Al  Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama  Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina,  beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa  raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung  shalat empat raka’at tanpa membantah.
Mereka langsung  mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah  dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab :  “Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi  Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda  dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah  buruk”.
Diriwayatkan pula bahwa  Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu  Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang  mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut  pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati  pendapat Imam Abu Hanifah”.
Dari Ibnu Abdil Barr  berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu  umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin  Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan  sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum  dalam  Al Muwatta’; sejauh yang penulis temui, beliau  adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu  dan agamanya”.
Penulis berkata : “Tapi  kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda  ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang  diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita  sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan  hadits itu. Dan tindakan yang  berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan  termasuk tradisi imam-imam kita”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu  Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan imam  yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia  ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku’  atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum  juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa  perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka  ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan  ini dianggap lebih baik”.
Ibnu Taimiyah kemudian  mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena  kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang  untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat bangunan baru  yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain  untuk keluar”.  
Terlihat disini, bahwa  keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau  hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam buku  Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam, Ahmad  dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat  meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu  bisa menarik simpati orang orang yang beriman”.
Ibnu Muflih dalam kitabnya  Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh keluar  (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu  diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah  begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan karena kaummu baru  meninggalkan masa jahiliyah…”
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi  pemahaman fiqih ikhtilaf :
1.       Persatuan adalah wajib.
“Aku  wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian  generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’it  tabi’in). Kalian harus tetap dalam jama’ah. Waspadalah terhadap  perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan  dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan  bau harum surga hendaknya selalu dalam jama’ah.” (HR Turmudzi, Hakim, shahih  menurut syarat Bukhary Muslim)
2.       Menjauhi dan menghindari  perpecahan.
“Berpeganglah  kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah”. (QS Ali Imran  : 103).
“…dan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi  lemah dan hilang kekuatan kamu”. (QS Al Anfal : 46).
3.       Perbedaan pendapat dalam  masalah furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan  merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi  : “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”. 
Atsar  riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
“Saya  tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat,  seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada  ruksyah (keringanan) bagi kita”.
4.       Saling bertoleransi  terhadap perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.
5.       Tidak ada toleransi pada  perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau  terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i (pasti) dan sharih (jelas).
6.       Tidak memaksakan pendapat  kepada orang lain.
7.       Tidak memastikan dan tidak  menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8.       Bersikap moderat  (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
“Jauhkanlah  diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum  kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”. (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu  Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9.       Bersikap obyektif dan  menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
10.         Menahan diri dari  “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah  khilafiah  dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi  (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.
11.         Lebih memprioritaskan  masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat  pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan  teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan  umat.
c. Kezaliman dan  kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul  fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan  spiritual.
f.     Zionisme  dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12.         Menjauhi taqlid buta dan  fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada  salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan selogan bebas  mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi  menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang taqlid pada  ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling  benar, paling super  mendekati makshum yang bebas dari  kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada  orang lain.
f.     Adanya  kemungkinan pluraritas kebenaran.
13.         Tidak menyakiti orang   yang berbeda pendapat.  
14.         Berdialog dengan cara yang  baik dan ilmiah.
15.         Menjauhi perdebatan  sengit.
XV.        Fikih  Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi,  seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qur’an), dikenal  moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat  gelar “The Man of The Year” dari pemerintah Uni Emirat Arab  dalam bukunya “Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju  Kematangan” menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan  perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah  dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu  point-point menuju kematangan  kebangkitan Islam yaitu :
1.       Dari formalitas menuju  hakikat. 
Aspek lahir  syariat : shalat, puasa, zakat haji,  ‘hafal’ ayat dan  teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb   itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih  penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri  kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa  sombong-tinggi hati. 
2.       Dari Simbol menuju  substansi.
Memanjangkan  jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan  celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol  yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya  yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama,  amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam  pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.
3.       Dari pembicaraan menuju  amal
Ceramah,  wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu  jauh lebih penting.
4.       Dari polemik-perdebatan  menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi,  seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri,  melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba  dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan  ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan,  menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset  penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5.       Dari sentimentil menuju  ilmiah
Mengedepankan  aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek  sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah  sikap ilmiah.
6.       Dari emosional menuju  rasional
Memusuhi  kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah  sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan 
7.       Dari ekstrim menuju  moderat
Ciri sikap  ekstrim berlebihan :
a.       Tidak mengakui pendapat  lain.
b.       Memaksakan pendapat.
c.       Keras bukan pada tempatnya  (pada masalah furu’ yang ijtihadi).
d.       Kasar, menyakiti.
e.       Buruk sangka.
f.         Memvonis orang lain sesat,  mubtadi, fasik, kafir.
g.       Liberalis.
h.       Literalis.
i.         Suka men-generalisir,  tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri  sikap moderat adalah pertengahan  :
a.       Antara mengikuti mazhab  dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b.       Antara pengikut tasawuf  dan yang menentang tasawuf.
c.       Antara rasionalis dan  literalis.
d.       Antara yang mengabaikan  politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
e.       Antara yang terburu-buru  memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga  dipetik orang lain.
f.         Antara kelompok idealis  yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan  ide – ide.
8.       Dari menyulitkan menuju  kemudahan.
Tidak mau  mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah dhalalah  yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman  Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan  sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.
Padahal  Allah berfirman :
“Dia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu”. (QS Al Baqarah : 185).
“Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian”. (QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi  :
“Agama  yang disukai Allah adalah agama yang mudah”. (HR Bukhari, Ahmad,  Thabrani)
“Sesungguhnya  Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia  suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”. (HR Ibnu Hibban, para  pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)
9.       Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya  memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau  mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan  perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu  menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya  demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10.         Dari taklid menuju  ittiba’.
          Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa  mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui  argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik. 
11.         Dari fanatisme menuju  toleransi.
          Ciri sikap fanatik :
a.       Menganggap dirinya paling  benar.
b.       Menganggap semua yang lain  pasti salah.
c.       Keras pada masalah furu’  yang ijtihadi
d.       Tidak mau meninggalkan  perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
e.       Tidak mau menerima  pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap  toleran :
a. Tidak  merasa yang paling benar.
b. Mau  menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak  bersikap keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.
d. Mau  meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau  menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12.         Dari eksklusifisme menuju  inklusifisme.
13.         Dari keberingasan menuju  kasih sayang.
14.         Dari perpecahan menuju  persatuan.
15.         Dari perselisihan menuju  solidaritas.



 11/25/2010 05:10:00 PM
11/25/2010 05:10:00 PM
 Annaz Aufa
Annaz Aufa
 
 Posted in:
 Posted in:   









 
 Postingan
Postingan
 
 
0 komentar:
Posting Komentar