Jumat, 13 Agustus 2010

Puasa Bidadari

Bidadari duduk tak tenang di kursinya. Berulang kali mata beningnya melirik berpindah-pindah dari jam dinding di atas pintu ke gerbang. Kaki-kaki mungilnya diayun-ayunkan tak sabar. Sebetulnya ia ingin melompat-lompat atau berlari-lari di koridor mengusir gusar hatinya, tapi Bidadari mengira sebentar lagi penantiannya selesai, jadi ia memutuskan untuk bersabar sebentar lagi.

"Tchuus.. Bidadari!“ Jill berseru pada Bidadari sambil berlari-lari kecil di samping ibunya. Bidadari tersenyum, melambai pada temannya. Hatinya gundah, satu-persatu teman-temannya melangkah keluar. Sekolah hampir sepi ketika mata bening Bidadari menangkap sosok yang dinantinya sejak tadi. Sembarangan disambarnya mantel coklat muda yang sejak tadi tergeletak di sebelahnya sebelum berlari dengan dua tangan terentang menyambut orang yang dinantinya, "Papa...!“

Bidadari menggandeng erat tangan kiri Papa sepanjang jalan. 'Tas kotak’ khas murid kelas satu SD bergambar Lillyfee berayun-ayun di punggung mungilnya. Tangan kanan Papa menenteng mantel Bidadari yang sejak tadi sudah dilepas. Hari ini hangat, kata Papa. Bidadari setuju, meski sudah masuk musim gugur, matahari masih bersinar cerah di Jerman Selatan.

"Mau Papa bantu bawa tasnya?“ tawar Papa. Bidadari mengangguk. Tenggorokannya kering. Seminggu sudah Bidadari berpuasa. Zum Üben, kata Mama waktu menjelaskan pada Bidadari kenapa bulan ini mereka tidak boleh makan dan minum sebelum gelap. Tahun lalu waktu Bidadari masih di Kindergarten dan belum mencoba puasa, Mama dan Papa sudah memberi tahu bahwa di bulan Ramadhan, muslim harus berpuasa. Bukan tidak boleh makan dan minum sama sekali, kata Mama waktu itu, pagi kita Frühstuck sebelum ada matahari dan makan malamnya setelah matahari terbenam. Semua muslim yang sudah besar harus puasa, jelas Mama pada Bidadari panjang lebar. "Kalau Kinder tidak puasa, Mama?“ tanya Bidadari. "Kinder memang tidak wajib puasa, tapi kalau tidak pernah üben nanti sudah besar tidak bisa puasa. Lagipula, Allah sayang pada orang yang berpuasa“. "Jadi aku nanti harus üben juga?“ tanya Bidadari. Senang sekali Mama dan Papa menganggapnya ‚sudah besar’ sehingga harus diajak berpuasa juga. "Tentu saja. Kalau kamu tidak kuat, baru boleh berbuka“ jawab Mama.

...................................


"Masih puasa, Sayang?“ tanya Papa. Bidadari mengangguk. Hari-hari pertama Ramadhan tidak mudah buat Bidadari. Saat semua teman-temannya makan siang di sekolah dan Bidadari satu-satunya yang tidak ikut makan siang. "Kenapa kamu tidak makan siang“, Daniel teman sekelasnya pernah bertanya. "Ich faste“ jawab Bidadari bangga. "Hah, apa itu?“ kali ini bukan cuma Daniel yang bertanya. "Aku tidak makan dan tidak minum sebelum gelap“, jelas Bidadari. "Iya tapi kenapa?“ tanya teman Bidadari yang lain. "Pokoknya aku tidak makan dan tidak minum“, Bidadari mulai kesal karena merasa teman-temannya tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lagi, tapi bingung harus bilang apa. Nicola, wali kelasnya menengahi, "Bidadari sedang puasa karena agamanya“. Untunglah setelah tiga-empat hari tidak ada lagi teman-temannya yang masih menanyakan kenapa Bidadari tidak makan dan minum di sekolah.

"Tadi siang aku ketiduran di Mensa, Papa,“ tutur Bidadari, "Soalnya aku ngantuk sekali“. Papa tersenyum dan menghentikan langkahnya. Kemudian Papa berlutut dan mencium pipi Bidadari, "Tidak apa, Sayang. Kamu capek ya?“ Bidadari mengangguk. Ia suka sekali kalau orang dewasa mengobrol dengannya sambil berlutut di sampingnya sehingga ia tidak perlu mendongak. "Papa bangga sekali kamu tabah dan kuat puasa seminggu ini tanpa batal“. Bidadari tersenyum dan memeluk Papanya, dalam hati ia berjanji akan membuat Papa dan Mama selalu bangga.

...................................


"Frau Aditya, saya rasa sebaiknya anak Anda tidak perlu puasa lagi. Di sekolah kami banyak anak-anak Muslim, tapi hanya Bidadari yang berpuasa. Anak Anda itu masih kecil sekali, dan dia terlihat lemah karena puasa. Bukankah di kitab suci Anda anak-anak tidak diwajibkan puasa?“

Tangan Mama menggenggam tangkai receiver telepon. "Ya betul, dalam kitab suci kami anak-anak tidak harus puasa. Tapi saya dan suami saya ingin agar anak kami berlatih puasa“.

"Tapi tadi siang seorang Kollegin kami harus menggendong Bidadari kembali ke Hort karena dia tertidur di Mensa. Itu kan berarti menambah berat pekerjaan kami?“ Ibu Kepala Sekolah mencoba beralasan.

"Kami berterimakasih sekali karena kolega Anda sudah berbaik hati menggendong anak kami kembali ke Hort dan saya minta maaf kalau itu sudah merepotkan. Saya dan suami saya tidak pernah memaksa Bidadari berpuasa. Kami menyuruhnya belajar berpuasa, itupun dengan pesan bahwa kalau dia tidak sanggup, dia boleh berbuka. Saya sudah katakan itu pada anak saya,“ jawab Mama lagi.

“Tadi siang Bidadari sudah ditawari makanan, tapi dia tetap menolak. Jadi bagaimana, boleh kan dia tidak puasa?”

“Seperti saya bilang tadi, saya tidak pernah memaksa anak saya puasa. Kalau Anda sudah menawarkan makanan dan dia tidak mau, itu berarti Bidadari sudah memutuskan bahwa ia ingin berpuasa”, kali ini suara Mama mulai bergetar menahan emosi. Sepintas Mama memandang ke arah Bidadari yang masih asyik dengan Barbie-nya sambil menuggu adzan Maghrib dari komputer yang dibiarkan menyala. Ah anakku sayang, betapa aku bangga memilikimu, gumam Mama dalam hati, semoga kamu tegar ya Nak.

“Ada apa Ma?” tanya Papa sambil meletakkan Qur’an yang baru dibacanya di atas meja. Mama meletakkan receiver telepon dan duduk di samping Papa. “Sekolah mempermasalahkan karena Bidadari puasa?” Mama mengangguk sedih. Sayup-sayup suara adzan Maghrib terdengar dari speaker komputer. “Mama, sudah Maghrib. Boleh aku makan spaghetti sekarang?” suara riang Bidadari seketika menghapus sedíh di hati Mama.

...................................


Bidadari memalingkan wajahnya ke pintu. Matanya menolak memandang wanita tinggi pirang di hadapannya. “Makanlah Bidadari. Makan sedikiiiiit… saja kue ini. Ini kue coklat kesukaanmu kan? Ayo makan….” Ia mendengar dirinya dibujuk. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. “Nein”, katanya. “Atau kamu mau minum susu ini? Sedikiiit saja… Papa-Mamamu tidak akan marah kok. Tadi malam aku sudah bicara dengan orangtuamu, kata mereka kamu tidak harus berpuasa. Kata Mamamu, kalau kamu tidak kuat, kamu boleh berbuka”, suara itu terus membujuk. Bidadari kesal sekali. Aku masih kuat dan ingin tetap puasa, katanya dalam hati. Sebenarnya ia ingin bilang pada Nicola kalau ia tidak mau makan atau minum, tapi Bidadari takut ibu gurunya itu marah. “Ayolah Bidadari”, kata suara lembut membujuk itu lagi, “Kamu masih kecil, Tuhan tidak akan marah”. Sepotong kue coklat dan segelas susu disodorkan ke hadapannya. Bidadari merasakan matanya panas. Cepat tangan kecilnya mengusap wajah sebelum si cantik pirang sempat melihat lelehan airmatanya. Sepuluh pasang mata jernih menatap, merekam adegan antara Nicola dan Bidadari. Ia malu sekali dipandangi teman-temannya seperti itu. Kepalanya mendongak memandang wajah Nicola yang tersenyum, masih berusaha meyakinkannya. Perasaannya campur aduk. Berharap adegan itu cepat berakhir, pelan Bidadari mengulurkan tangannya meraih gelas susu. Matanya panas. Di antara sedunya terngiang kata-kata Mama, “Allah sayang pada orang yang berpuasa, Bidadari…”.


Tchus = Selamat tinggal

Zum Üben = Untuk latihan

Kindergarten = Taman Kanak-Kanak (TK)

Frühstuck = Sarapan

Kinder = anak-anak

üben = latihan

"Ich faste“ = saya puasa

Mensa = kantin

Kollegin = kolega perempuan

Hort = tempat penitipan anak

Nein = tidak




Untuk semua Bidadari kecil yang tabah dan tegar berpuasa Ramadhan.

Sumber : http://kewanitaande.multiply.com

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes