Di saat-saat tertentu teringatmu selalu satu nasihat ibu. Yang menyuruhmu bergegas bangun sebelum atap dijenguk mentari, membuka jendela, lantas mengucap “Alhamdulillah”.
“Maka hari pun tak akan lagi sulit dilalui, Nak. Sebab pagi adalah gerbang hari dan bersyukur adalah penjaga hati,” begitulah kerap ia berkata penuh kelembutan setiap kali menemukanmu bangun dengan wajah cemberut. ”Maka semoga setiap langkahmu selalu diridhai Allah. Tak henti sepanjang hari. Bukankah menyenangkan jika begitu?”
“Tapi itu dulu, Bu, tidak kini. Aku telah bangun sangat pagi tapi hari tetap saja sulit dijalani. Apakah nasihatmu itu telah kadaluarsa? Sebab tak ada yang mudah di sini, Bu! Tak satu pun.” Ingin kau mengadu begitu tapi tahu sungguh tak mungkin. Di sini kau hanya hidup sendiri. Tanpa keluarga, kerabat, dan sahabat. Seorang bujang dua puluh tujuh tahun yang sedang mencoba mengabdi setulus hati. Di tengah hutan rimba, rawa dan padang savana. Di pedalaman Papua.
Dua tahun lalu, sungai, gunung, hutan, dan laut telah membelenggu bebasmu sebagai pemuda kota. Menyempitkan langkah. Membuatmu sangat tergantung pada satu-satunya motor butut dinas yang sepasang rodanya tak pernah lepas dari selimut lumpur. Bukan itu saja. Jumlah lampunya pun tak lagi sempurna. Rantainya longgar. Mesinnya selalu berderak. Kaca spion tinggal sebelah. Sungguh sebuah motor yang benar-benar butut. Kendati begitu motor itulah segalanya. Teman sekaligus rekan kerjamu.
Bersamanya kau jalani hari-hari sebagai guru di sebuah sekolah di pelosok Papua. Namun bukan guru yang hanya mengajar olahraga—seperti gelar dan keahlianmu—tapi semua pelajaran, sebab memang begitulah keadaannya. Di sekolahmu tak ada kepala sekolah, pustakawan, apalagi bagian administrasi. Di sekolah itu hanya ada guru dan murid. Kau dan anak-anak itu. Di tempat tinggalmu pun tak jauh beda. Hanya ada dua tetangga paling dekat. Pak Emus dan Pak Moses yang rumahnya berjarak 300 dan 700 meter. Kau dan mereka terpisah hutan dan ladang. Di saat seperti itulah si motor butut menjadi teman sejati. Menemanimu melewati hari-hari yang berat dan sepi.
Pun, bersama motormu kau hadapi liarnya alam Papua. Memulai rutinitas pagi dengan meniti jalan setapak yang hancur berlubang selama tiga jam. Selanjutnya menyeberangi sungai berpenghuni buaya selama dua jam. Lalu ditambah beberapa menit perjalanan darat lagi sebelum akhirnya tiba di sekolah. Lantas apakah murid-muridmu sudah menunggu di sana? Sungguh kau tidak pernah berharap. Sebab kau hanyalah seorang guru yang tak diharap. Seorang pendatang tanpa pengalaman mengajar. Guru muda yang kini sedang dilanda dilema. Apakah akan terus mengabdi atau menyerah kalah seperti yang lain—kepala sekolah yang minta pindah, para pegawai yang tak pernah datang, atau beberapa guru yang lebih sering berkunjung ke bar daripada ke sekolah.1
Kau tahu bukan salah anak-anak itu hingga lebih suka bermain daripada belajar. Lebih betah menjelajah hutan daripada duduk kaku di kelas. Alam memang lebih menarik dibanding buku. Berburu lebih seru dari berhitung. Menenteng panah lebih gagah ketimbang memegang pena. Tapi kau pun tahu kalau tenaga tanpa otak sama saja dengan keledai. Pandah memanah tapi tak bisa baca-tulis, mau jadi apa nanti?
“Sa mo jadi pemburu seperti sa pu pace!”2 teriak murid laki-laki.
“Sa mo jadi maitua seperti sa pu mace!”3 teriak murid perempuan.
Duh, lugunya mereka. Cita-cita yang sangat sederhana. Tapi sayang, tanpa masa depan indah. Kau tahu itu.
Kau sadar mereka masih terlalu belia untuk mengerti sebuah rahasia besar. Bahwa beban hidup akan bertambah seiring usia yang menua. Masa kanak-kanak dan dewasa terpisah jurang tanggung jawab yang begitu lebar. Menganga. Siap memamah siapa pun yang kalah. Dia yang tak kuat berjuang melawan dunia akan mati dalam sengsara. Dan itulah yang tampaknya akan diwarisi anak-anak itu dari orang tua mereka. Kemiskinan yang mengakar. Keterpurukan orang-orang Komen4.
“Tidak!” Kau mengucap lantang tanpa sadar. Menggeleng kepala mencoba mengusir letih hatimu sesaat. Letih yang mengendap dan baru bergolak akhir-akhir ini; karena keterasingan, pun merasa sia-sia. Dua tahun mengajar tapi kau tak melihat ada perubahan. Masih banyak yang sulit mengeja, apalagi membaca. Mengenal angka dalam bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia. Ketika diajar menghafal, mereka selalu bersemangat. Kau suka itu. Apalagi saat kau tanya, “Sudah hafal semua?”, dan mereka jawab, “Sudah!”, tapi ternyata hanya untuk hari itu. Sebab jika esok ditanya lagi, semua serentak berkata lupa. Hafalan kemarin sepertinya hanya untuk kemarin.
Maka setiap pelajaran pun harus selalu kau ulangi. Berkali-kali. Lagi dan lagi. Sungguh memakan waktu. Menguras tenaga. Menguji sabarmu hingga mencapai jenuh. Wajarlah jika kau pun mulai sering berpikir untuk kembali. Mengepak barang, berangkat pulang, meninggalkan semua di belakang. Tapi setiap kali itu pula kau teringat mereka. Murid-muridmu yang lugu. Yang bermata bening tanpa dosa. Yang tak malu berlari telanjang bulat di tengah lebat hujan. Yang bertanya ingin tahu saat pertama kali melihatmu mengerjakan shalat, “Pak Guru, apa yang Bapak Guru bikin tadi? Berdiri diam macam pohon, trus tunduk pegang lutut, trus berdiri lagi, trus duduk, trus berdiri lagi. Tidak capek ka?”. Dan selanjutnya kau masih ingat betapa mereka beramai-ramai mencoba meniru rangakaian gerak shalatmu.
Duhai, anak-anak yang selalu riang, bisikmu penuh rasa sayang. Di tengah gelimun dingin pagi, kau tiba-tiba merasa hangat.
“Selamat pagi. Mo pigi mengajar, Bapak?” sapanya ramah, selalu begitu.
“Selamat pagi juga,” jawabmu santun, pun selalu begitu. Tapi kali ini ada tambahan, “Iya, mau mengajar. Dua hari lagi ada ujian. Hari ini anak-anak kelas enam mau saya bawa ke kabupaten sepulang sekolah. Ujiannya di sana.”
Lalu dalam kepalamu terangkai sebuah perjalanan panjang. Perjalanan rutin tahunan yang harus kau tempuh nanti. Dari pedalaman di hulu ke kabupaten di hilir. Dua hari penuh mendayung tanpa henti. Pagi sampai malam, hingga pagi lagi di hari yang lain. Terus begitu selama dua hari. Bergantian kau dan murid-murid bertukar posisi. Ada yang mendayung, ada yang menumpang. Ada yang tidur, ada yang berjaga.
Begitulah beban yang kau warisi. Beban seorang guru kecil di pedalaman terpencil. Pekerjaan yang sangat penting tapi sayang terkucil. Tak ada yang peduli. Bahkan kau mulai ragu apakah ada yang masih ingat ada sekolah di sini. Sekali lagi kau mendesah panjang. Ragumu timbul.
Mampukah aku menjadi guru yang baik? Yang bisa memberi cahaya untuk anak-anak yang telah lama dibelenggu gelap itu? Tanpa ilmu pengetahuan. Tanpa keyakinan yang benar. Sementara aku merasa bagai sepotong ranting yang tak mampu memahat karang. Hanya menggurat tanah. Itu pun sebatas permukaan. Mampukah aku menyentuh mereka?
Penuh pikiran, kau naiki perahu bersama motor bututmu. Sempat tersentak saat terasa sedikit oleng.
“Bapak, pelan-pelan saja.”
Dan untuk yang kesekian kali, kau serahkan diri dan motor bututmu di kelincahan tangan si tukang perahu. Membiarkannya memacu laju saat rintangan tak ada. Menahan napas gugup saat mengira sebatang kayu adalah buaya. Namun selebihnya sama seperti biasa. Selama hujan tak turun, sungai setenang permukaan air kolam. Membawa perahu ke hulu yang dituju dengan mulus. Sementara itu, kau pun terseret arus kenangan masa lalu. Sekeping yang tak mudah dilupa. Dua tahun lalu.
“Kenapa harus jauh-jauh, Nak?” bukankah kau bisa minta penempatan di sekolah sekitar daerah ini saja? Atau kalau pun jauh, selama ada kerabat yang tinggal di situ, tak mengapa. Ibu ijinkan. Tapi di Papua, ada siapa di sana?”
Tak kau lupa siang yang cerah tapi kelabu itu. Saat surat tugas kau tunggu akhirnya tiba, tapi membawa kabar yang mengganggu. Mengubur senyum bahagia Ibu menjadi khawatir tak berujung. Kau, si bungsu dan anak laki-laki satu-satunya, akan pergi jauh untuk pertama kali. Meninggalkan dirinya. Menjauh dari Jawa. Terdampar di Papua.
“Yah, namanya guru baru, Bu. Calon PNS pula… tentunya tugas pertama berat. Itu kan wajar,” jelasmu mencoba menenangkan ibu. Pun, hatimu sendiri yang agak kecewa. Sebab tidak begitu mimpimu. Bukan itu! Mengajar di tempat yang jauh dan menjadi orang asing? Bagaimana jika hanya kau sendiri Muslim? Bagaimana jika mereka makan babi? Bagaimana jika begini dan begitu? Sungguh kau tak tahu mau bagaimana lagi.
Padahal kau hanya ingin seperti Umar yang mengajar di SMP favorit. Atau Nadir yang dikontrak sekolah Islam swasta standar internasional. Tapi setelah dua tahun menganggur tanpa hasil, kau sadar tak pantas memilih-milih lagi. Seorang guru harusnya semata ingin berbakti. Bukan memburu materi. Apalagi rezeki adalah takdir. Banyak-sedikit, Allah maha adil. Kau pun putuskan jalani nasib, apapun itu. Menerima penugasan di tengah perkampungan suku asli yang masih menyembah alam dan murni kepala suku.
“Su (sudah) sampai, Bapak. Su boleh turun.”
Suara serak itu berdering dekat di telingamu. Suara lelah si tukang perahu tua. Kau terkesiap. Kenanganmu menguap.
“Eh-oh. Ya, ya. Terima kasih, Pak.”
Lantas dengan tergesa kau pun menuntun motormu turun, membayar ongkos perahu, lalu melangkah pergi setelah mengucap terima kasih. Sekali lagi motor kembali kau pacu. Kali ini, sekolah sudah dekat.
“Terlalu berat,” keluh Pak Rijal, guru asal Sumatera. “Tidak betah,” kata Pak Edo, guru dari Nusa Tenggara. Hingga sisa satu. Kau.
“Kasihan anak-anak kalau semua guru pergi. Kasihan juga anak-anak kalau terus dibiarkan bodoh,” ucapmu saat melepas Pak Edo. Enam bulan lalu.
“Tapi bukankah mereka lebih suka jika tidak belajar?”
“Semua anak memang begitu, dimana pun. Makanya guru ada sebagai pemandu.”
“Tapi bukankah orangtua mereka juga lebih suka jika tidak ada guru? Anak-anak bisa membantu di ladang dan berburu. Bagi mereka, itu lebih baik. Apalagi tak ada orang baru. Orang baru kan hanya mereka anggap musuh. Lupakah kau saat anak panah itu sudah diarahkan ke kepalamu?”
Kau tahu, Edo mencoba mengingatkan kejadian tahun ajaran lalu. Ketika tak seorang pun anak kelas 6 lulus. Bagaimana bisa lulus kalau tak ada yang bisa mengerjakan soal berhitung. “Tidak tahu, Bapak Guru,” begitu kata mereka kompak.
Tenang saja. Murid-muridmu itu lebih sering bolos daripada masuk kelas. Makin besar mereka, makin susah diatur lakunya. Saat itu kau merasa betul-betul gagal. Seorang guru yang tak becus mengajar. Dan sungguh pantas dihajar, mungkin itulah yang ada di kepala para orangtua murid saat mengancammu dengan busur panah yang siap ditarik sembari meminta anak mereka diluluskan.
Kini, kau merasa di ambang peristiwa yang sama. Lusa, hari ujian. Tapi entah mengapa kau tak yakin anak-anak kelas 6 sudah siap. “Semoga firasat itu salah,” harapmu setelah berdoa. Namun yang tampak di depan matamu justru sebaliknya. Tak terlihat satu pun murid paling tua di halaman sekolah. Tidak juga di depan kelas darurat. Pun di depan puing bangunan sekolah lama yang dibiarkan rusak sejak gempa setahun lalu. Yang ada hanya murid kelas lebih muda. Anak-anak kecil berperut buncit dan berkulit legam. Yang langsung menguntit langkahmu masuk ke kelas dan duduk manis begitu tiba di dalam. Pelajaran harus dimulai. Kau pun menyibukkan diri menulis soal dan menerangkan, sambil sesekali mencuri pandang ke arah pintu. Berharap ada murid kelas 6 yang muncul. Sayang tak ada. Kau kecewa.
“Ada yang tahu kemana Autei, Esau, Ndiken, dan anak kelas 6 lain?” tanyamu akhirnya. Dan sebuah jawab yang tak diharap terdengar mengambang.
“Dong pi hutan, Bapak Guru. Ikut dong pu pace.5 Berburu babi.”
“Masya Allah!” Kejut itu tak bisa kau tahan. Inilah yang kau takuti.
Selama dua tahun kau tak hanya mengajar ilmu pengetahuan umum, tapi juga agama pada murid-muridmu dan penduduk lain. Yang kau sisipkan di sela-sela pelajaran sekolah, pembicaraan ringan atau diskusi suatu masalah. Yang kau contohkan lewat tutur kata dan sikap yang selalu terjaga dari seorang pengikut Rasulullah. Samua itu kau lakukan karena tak tega melihat kehidupan mereka. Terpasung gelap. Tersesat di jalan yang salah.
Sedikit demi sedikit kau mencoba mengenalkan mereka mana yang benar dan mana yang salah. Benar karena membawa kebaikan. Salah karena mendatangkan keburukan. Dengan ilmu agama alakadarnya, kau pun mulai mengajar mereka tentang Islam. Meski kau tahu dirimu bukan seorang pendakwah, tapi keinginanmu begitu kuat untuk menyadarkan mereka; bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasul-Nya. Namun kejadian hari ini membuatmu semakin merasa tak berguna. Kata-katamu tak ada yang didengar. Sia-sia. Mereka tetap berburu babi meski berkali-kali kau katakan betapa binatang itu bukanlah jenis makanan yang mendatangkan kebaikan, sebaliknya keburukan karena penyebab penyakit. Dan demi babi pula, anak-anak itu tidak ikut ujian.
“Ternyata aku benar-benar hanya sebatang ranting. Tak bisa menggurat dalam, apalagi hingga meninggalkan bekas,” bisikmu lelah lalu meneruskan pelajaran. Kau ingin hari ini cepat berakhir.
“Pak Guru, jang pigi dulu! Nanti tong tara jadi ujian.”6
“Betul itu. Jang Bapak marah kitorang ka. Tong cuma bantu tong pu pace berburu rusa di hutan.”7
Dan kata-kata itulah yang seketika menghentikan niatmu pulangmu. Memaksa kepalamu menoleh ke asal suara. Di sana, terpisah beberapa langkah, Esau dari anak kelas 6 lain tengah berdiri menunggumu dengan tatapan takut-takut. Panah dan busur tergeletak di kaki mereka, tak jauh dari seekor rusa yang terikat mati. Rupanya dari hutan mereka langsung ke sekolah.
“Kalian masih ingat ada ujian lusa?” tanyamu tak percaya sambil berjalan mendekat. Motor telah kau parkir kembali di tempatnya.
“Ingat, Pak Guru!”
“Kalau begitu kenapa kalian malah pergi berburu?”
“Kitong cuma mau bantu-bantu sebentar sebelum pergi.”
“Lalu kenapa rusa yang kalian buru? Bukankah biasanya babi?”
Anak-anak kelas 6 terdiam sebelum kemudian ada satu yang menjawab. “Kitong ingat kata Bapak Guru. Makan babi bisa bikin penyakit. Karena itu tidak boleh. Jadi kitong bilang ke kitong punya pace (bapak) kalau berburu rusa saja. Biar yang makan tidak sakit.”
Deg! Mendengar itu serasa ada hangat menjalari hatimu. Ternyata usahamu tak sepenuhnya sia-sia. Masih ada kata-katamu yang didengar. Masih ada harapan untuk dikejar. Cahaya yang semula hampir redup itu pun kau rasakan terang kembali. Dan semakin terang ketika terdengar Esau berkata, “Pak Guru, matahari lewat di atas kepala sudah. Tidak berdoa dulu ka? Kitong sudah siapkan air dan sapu-sapu kelas untuk Bapak Guru pakai berdoa.”
Subhanallah. Tak kuasa kau menahan haru mendengar kalimat itu. Seorang anak suku asli Papua mengingatkanmu untuk shalat. Duhai. Adakah hati mereka akan tergerak memeluk Islam suatu saat nanti?
“Semoga hidayah-Nya bisa segera sampai padamu, anak-anakku. Semoga…”
Dan di suatu waktu nanti barulah kau menyadari, bahwa meski dirimu ranting tetapi bukan sekadar ranting biasa. Melainkan ranting cahaya yang dengan kelenturannya mampu menyelinap di antara dedaunan, mengisi setiap lubang, merasuki sudut dan celah, bahkan memecah tirai pekat malam, untuk kemudian mengusir gelap. Hingga datanglah terang.
“Maka bergegaslah engkau bangun sebelum atap dijenguk mentari, membuka jendela, lantas mengucap ‘Alhamdulillah’. Semoga setiap langkahmu selalu diridhai Allah, tak henti sepanjang hari.”***
Keterangan :
“Maka hari pun tak akan lagi sulit dilalui, Nak. Sebab pagi adalah gerbang hari dan bersyukur adalah penjaga hati,” begitulah kerap ia berkata penuh kelembutan setiap kali menemukanmu bangun dengan wajah cemberut. ”Maka semoga setiap langkahmu selalu diridhai Allah. Tak henti sepanjang hari. Bukankah menyenangkan jika begitu?”
“Tapi itu dulu, Bu, tidak kini. Aku telah bangun sangat pagi tapi hari tetap saja sulit dijalani. Apakah nasihatmu itu telah kadaluarsa? Sebab tak ada yang mudah di sini, Bu! Tak satu pun.” Ingin kau mengadu begitu tapi tahu sungguh tak mungkin. Di sini kau hanya hidup sendiri. Tanpa keluarga, kerabat, dan sahabat. Seorang bujang dua puluh tujuh tahun yang sedang mencoba mengabdi setulus hati. Di tengah hutan rimba, rawa dan padang savana. Di pedalaman Papua.
Dua tahun lalu, sungai, gunung, hutan, dan laut telah membelenggu bebasmu sebagai pemuda kota. Menyempitkan langkah. Membuatmu sangat tergantung pada satu-satunya motor butut dinas yang sepasang rodanya tak pernah lepas dari selimut lumpur. Bukan itu saja. Jumlah lampunya pun tak lagi sempurna. Rantainya longgar. Mesinnya selalu berderak. Kaca spion tinggal sebelah. Sungguh sebuah motor yang benar-benar butut. Kendati begitu motor itulah segalanya. Teman sekaligus rekan kerjamu.
Bersamanya kau jalani hari-hari sebagai guru di sebuah sekolah di pelosok Papua. Namun bukan guru yang hanya mengajar olahraga—seperti gelar dan keahlianmu—tapi semua pelajaran, sebab memang begitulah keadaannya. Di sekolahmu tak ada kepala sekolah, pustakawan, apalagi bagian administrasi. Di sekolah itu hanya ada guru dan murid. Kau dan anak-anak itu. Di tempat tinggalmu pun tak jauh beda. Hanya ada dua tetangga paling dekat. Pak Emus dan Pak Moses yang rumahnya berjarak 300 dan 700 meter. Kau dan mereka terpisah hutan dan ladang. Di saat seperti itulah si motor butut menjadi teman sejati. Menemanimu melewati hari-hari yang berat dan sepi.
Pun, bersama motormu kau hadapi liarnya alam Papua. Memulai rutinitas pagi dengan meniti jalan setapak yang hancur berlubang selama tiga jam. Selanjutnya menyeberangi sungai berpenghuni buaya selama dua jam. Lalu ditambah beberapa menit perjalanan darat lagi sebelum akhirnya tiba di sekolah. Lantas apakah murid-muridmu sudah menunggu di sana? Sungguh kau tidak pernah berharap. Sebab kau hanyalah seorang guru yang tak diharap. Seorang pendatang tanpa pengalaman mengajar. Guru muda yang kini sedang dilanda dilema. Apakah akan terus mengabdi atau menyerah kalah seperti yang lain—kepala sekolah yang minta pindah, para pegawai yang tak pernah datang, atau beberapa guru yang lebih sering berkunjung ke bar daripada ke sekolah.1
Kau tahu bukan salah anak-anak itu hingga lebih suka bermain daripada belajar. Lebih betah menjelajah hutan daripada duduk kaku di kelas. Alam memang lebih menarik dibanding buku. Berburu lebih seru dari berhitung. Menenteng panah lebih gagah ketimbang memegang pena. Tapi kau pun tahu kalau tenaga tanpa otak sama saja dengan keledai. Pandah memanah tapi tak bisa baca-tulis, mau jadi apa nanti?
“Sa mo jadi pemburu seperti sa pu pace!”2 teriak murid laki-laki.
“Sa mo jadi maitua seperti sa pu mace!”3 teriak murid perempuan.
Duh, lugunya mereka. Cita-cita yang sangat sederhana. Tapi sayang, tanpa masa depan indah. Kau tahu itu.
Kau sadar mereka masih terlalu belia untuk mengerti sebuah rahasia besar. Bahwa beban hidup akan bertambah seiring usia yang menua. Masa kanak-kanak dan dewasa terpisah jurang tanggung jawab yang begitu lebar. Menganga. Siap memamah siapa pun yang kalah. Dia yang tak kuat berjuang melawan dunia akan mati dalam sengsara. Dan itulah yang tampaknya akan diwarisi anak-anak itu dari orang tua mereka. Kemiskinan yang mengakar. Keterpurukan orang-orang Komen4.
“Tidak!” Kau mengucap lantang tanpa sadar. Menggeleng kepala mencoba mengusir letih hatimu sesaat. Letih yang mengendap dan baru bergolak akhir-akhir ini; karena keterasingan, pun merasa sia-sia. Dua tahun mengajar tapi kau tak melihat ada perubahan. Masih banyak yang sulit mengeja, apalagi membaca. Mengenal angka dalam bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia. Ketika diajar menghafal, mereka selalu bersemangat. Kau suka itu. Apalagi saat kau tanya, “Sudah hafal semua?”, dan mereka jawab, “Sudah!”, tapi ternyata hanya untuk hari itu. Sebab jika esok ditanya lagi, semua serentak berkata lupa. Hafalan kemarin sepertinya hanya untuk kemarin.
Maka setiap pelajaran pun harus selalu kau ulangi. Berkali-kali. Lagi dan lagi. Sungguh memakan waktu. Menguras tenaga. Menguji sabarmu hingga mencapai jenuh. Wajarlah jika kau pun mulai sering berpikir untuk kembali. Mengepak barang, berangkat pulang, meninggalkan semua di belakang. Tapi setiap kali itu pula kau teringat mereka. Murid-muridmu yang lugu. Yang bermata bening tanpa dosa. Yang tak malu berlari telanjang bulat di tengah lebat hujan. Yang bertanya ingin tahu saat pertama kali melihatmu mengerjakan shalat, “Pak Guru, apa yang Bapak Guru bikin tadi? Berdiri diam macam pohon, trus tunduk pegang lutut, trus berdiri lagi, trus duduk, trus berdiri lagi. Tidak capek ka?”. Dan selanjutnya kau masih ingat betapa mereka beramai-ramai mencoba meniru rangakaian gerak shalatmu.
Duhai, anak-anak yang selalu riang, bisikmu penuh rasa sayang. Di tengah gelimun dingin pagi, kau tiba-tiba merasa hangat.
--==--
Angin membawa aroma hawa yang mengental. Merampas segar dari pagi sekaligus memberitahu kalau sungai tak lagi jauh. Ah, kau hela napas panjang. Lega tubuhmu meregang ingin segera lepas dari siksa. Diguncang jalan berbatu selama tiga jam sungguh membuatmu agak mual. Sarapan keladi rebus tadi serasa kembali dari perut. Naik-turun tak menentu. Belum lagi selangkang yang sakit. Leher yang kaku. Kepala seperti mau lepas. Maka dengan menahan gigil, motor pun kau pacu laju. Melesat. Jauh meninggalkan gigi satu. Dan di menit kelima, kau pun tiba di sebuah tepian. Di sana, seorang tukang perahu langganan sudah menunggu. Seorang bapak tua dengan dayung di tangan. “Selamat pagi. Mo pigi mengajar, Bapak?” sapanya ramah, selalu begitu.
“Selamat pagi juga,” jawabmu santun, pun selalu begitu. Tapi kali ini ada tambahan, “Iya, mau mengajar. Dua hari lagi ada ujian. Hari ini anak-anak kelas enam mau saya bawa ke kabupaten sepulang sekolah. Ujiannya di sana.”
Lalu dalam kepalamu terangkai sebuah perjalanan panjang. Perjalanan rutin tahunan yang harus kau tempuh nanti. Dari pedalaman di hulu ke kabupaten di hilir. Dua hari penuh mendayung tanpa henti. Pagi sampai malam, hingga pagi lagi di hari yang lain. Terus begitu selama dua hari. Bergantian kau dan murid-murid bertukar posisi. Ada yang mendayung, ada yang menumpang. Ada yang tidur, ada yang berjaga.
Begitulah beban yang kau warisi. Beban seorang guru kecil di pedalaman terpencil. Pekerjaan yang sangat penting tapi sayang terkucil. Tak ada yang peduli. Bahkan kau mulai ragu apakah ada yang masih ingat ada sekolah di sini. Sekali lagi kau mendesah panjang. Ragumu timbul.
Mampukah aku menjadi guru yang baik? Yang bisa memberi cahaya untuk anak-anak yang telah lama dibelenggu gelap itu? Tanpa ilmu pengetahuan. Tanpa keyakinan yang benar. Sementara aku merasa bagai sepotong ranting yang tak mampu memahat karang. Hanya menggurat tanah. Itu pun sebatas permukaan. Mampukah aku menyentuh mereka?
Penuh pikiran, kau naiki perahu bersama motor bututmu. Sempat tersentak saat terasa sedikit oleng.
“Bapak, pelan-pelan saja.”
Dan untuk yang kesekian kali, kau serahkan diri dan motor bututmu di kelincahan tangan si tukang perahu. Membiarkannya memacu laju saat rintangan tak ada. Menahan napas gugup saat mengira sebatang kayu adalah buaya. Namun selebihnya sama seperti biasa. Selama hujan tak turun, sungai setenang permukaan air kolam. Membawa perahu ke hulu yang dituju dengan mulus. Sementara itu, kau pun terseret arus kenangan masa lalu. Sekeping yang tak mudah dilupa. Dua tahun lalu.
“Kenapa harus jauh-jauh, Nak?” bukankah kau bisa minta penempatan di sekolah sekitar daerah ini saja? Atau kalau pun jauh, selama ada kerabat yang tinggal di situ, tak mengapa. Ibu ijinkan. Tapi di Papua, ada siapa di sana?”
Tak kau lupa siang yang cerah tapi kelabu itu. Saat surat tugas kau tunggu akhirnya tiba, tapi membawa kabar yang mengganggu. Mengubur senyum bahagia Ibu menjadi khawatir tak berujung. Kau, si bungsu dan anak laki-laki satu-satunya, akan pergi jauh untuk pertama kali. Meninggalkan dirinya. Menjauh dari Jawa. Terdampar di Papua.
“Yah, namanya guru baru, Bu. Calon PNS pula… tentunya tugas pertama berat. Itu kan wajar,” jelasmu mencoba menenangkan ibu. Pun, hatimu sendiri yang agak kecewa. Sebab tidak begitu mimpimu. Bukan itu! Mengajar di tempat yang jauh dan menjadi orang asing? Bagaimana jika hanya kau sendiri Muslim? Bagaimana jika mereka makan babi? Bagaimana jika begini dan begitu? Sungguh kau tak tahu mau bagaimana lagi.
Padahal kau hanya ingin seperti Umar yang mengajar di SMP favorit. Atau Nadir yang dikontrak sekolah Islam swasta standar internasional. Tapi setelah dua tahun menganggur tanpa hasil, kau sadar tak pantas memilih-milih lagi. Seorang guru harusnya semata ingin berbakti. Bukan memburu materi. Apalagi rezeki adalah takdir. Banyak-sedikit, Allah maha adil. Kau pun putuskan jalani nasib, apapun itu. Menerima penugasan di tengah perkampungan suku asli yang masih menyembah alam dan murni kepala suku.
“Su (sudah) sampai, Bapak. Su boleh turun.”
Suara serak itu berdering dekat di telingamu. Suara lelah si tukang perahu tua. Kau terkesiap. Kenanganmu menguap.
“Eh-oh. Ya, ya. Terima kasih, Pak.”
Lantas dengan tergesa kau pun menuntun motormu turun, membayar ongkos perahu, lalu melangkah pergi setelah mengucap terima kasih. Sekali lagi motor kembali kau pacu. Kali ini, sekolah sudah dekat.
***
Ruang 5×6 meter itu bukan aula. Walau hanya ada papan tulis, tanpa bangku dan meja, tapi itu sebuah kelas darurat. Tepatnya, kelas untuk 40 murid. Dari kelas 1 hingga 6 SD. Semuanya jadi satu. Belajar bersama di atas lantai papan berdebu. Berbagi papan tulis dan guru yang semula ada tiga. Sebelum kemudian satu per satu mundur menyerah. “Terlalu berat,” keluh Pak Rijal, guru asal Sumatera. “Tidak betah,” kata Pak Edo, guru dari Nusa Tenggara. Hingga sisa satu. Kau.
“Kasihan anak-anak kalau semua guru pergi. Kasihan juga anak-anak kalau terus dibiarkan bodoh,” ucapmu saat melepas Pak Edo. Enam bulan lalu.
“Tapi bukankah mereka lebih suka jika tidak belajar?”
“Semua anak memang begitu, dimana pun. Makanya guru ada sebagai pemandu.”
“Tapi bukankah orangtua mereka juga lebih suka jika tidak ada guru? Anak-anak bisa membantu di ladang dan berburu. Bagi mereka, itu lebih baik. Apalagi tak ada orang baru. Orang baru kan hanya mereka anggap musuh. Lupakah kau saat anak panah itu sudah diarahkan ke kepalamu?”
Kau tahu, Edo mencoba mengingatkan kejadian tahun ajaran lalu. Ketika tak seorang pun anak kelas 6 lulus. Bagaimana bisa lulus kalau tak ada yang bisa mengerjakan soal berhitung. “Tidak tahu, Bapak Guru,” begitu kata mereka kompak.
Tenang saja. Murid-muridmu itu lebih sering bolos daripada masuk kelas. Makin besar mereka, makin susah diatur lakunya. Saat itu kau merasa betul-betul gagal. Seorang guru yang tak becus mengajar. Dan sungguh pantas dihajar, mungkin itulah yang ada di kepala para orangtua murid saat mengancammu dengan busur panah yang siap ditarik sembari meminta anak mereka diluluskan.
Kini, kau merasa di ambang peristiwa yang sama. Lusa, hari ujian. Tapi entah mengapa kau tak yakin anak-anak kelas 6 sudah siap. “Semoga firasat itu salah,” harapmu setelah berdoa. Namun yang tampak di depan matamu justru sebaliknya. Tak terlihat satu pun murid paling tua di halaman sekolah. Tidak juga di depan kelas darurat. Pun di depan puing bangunan sekolah lama yang dibiarkan rusak sejak gempa setahun lalu. Yang ada hanya murid kelas lebih muda. Anak-anak kecil berperut buncit dan berkulit legam. Yang langsung menguntit langkahmu masuk ke kelas dan duduk manis begitu tiba di dalam. Pelajaran harus dimulai. Kau pun menyibukkan diri menulis soal dan menerangkan, sambil sesekali mencuri pandang ke arah pintu. Berharap ada murid kelas 6 yang muncul. Sayang tak ada. Kau kecewa.
“Ada yang tahu kemana Autei, Esau, Ndiken, dan anak kelas 6 lain?” tanyamu akhirnya. Dan sebuah jawab yang tak diharap terdengar mengambang.
“Dong pi hutan, Bapak Guru. Ikut dong pu pace.5 Berburu babi.”
“Masya Allah!” Kejut itu tak bisa kau tahan. Inilah yang kau takuti.
Selama dua tahun kau tak hanya mengajar ilmu pengetahuan umum, tapi juga agama pada murid-muridmu dan penduduk lain. Yang kau sisipkan di sela-sela pelajaran sekolah, pembicaraan ringan atau diskusi suatu masalah. Yang kau contohkan lewat tutur kata dan sikap yang selalu terjaga dari seorang pengikut Rasulullah. Samua itu kau lakukan karena tak tega melihat kehidupan mereka. Terpasung gelap. Tersesat di jalan yang salah.
Sedikit demi sedikit kau mencoba mengenalkan mereka mana yang benar dan mana yang salah. Benar karena membawa kebaikan. Salah karena mendatangkan keburukan. Dengan ilmu agama alakadarnya, kau pun mulai mengajar mereka tentang Islam. Meski kau tahu dirimu bukan seorang pendakwah, tapi keinginanmu begitu kuat untuk menyadarkan mereka; bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasul-Nya. Namun kejadian hari ini membuatmu semakin merasa tak berguna. Kata-katamu tak ada yang didengar. Sia-sia. Mereka tetap berburu babi meski berkali-kali kau katakan betapa binatang itu bukanlah jenis makanan yang mendatangkan kebaikan, sebaliknya keburukan karena penyebab penyakit. Dan demi babi pula, anak-anak itu tidak ikut ujian.
“Ternyata aku benar-benar hanya sebatang ranting. Tak bisa menggurat dalam, apalagi hingga meninggalkan bekas,” bisikmu lelah lalu meneruskan pelajaran. Kau ingin hari ini cepat berakhir.
***
Baru saja mesin motor hendak kau nyalakan ketika terdengar sapa itu.“Pak Guru, jang pigi dulu! Nanti tong tara jadi ujian.”6
“Betul itu. Jang Bapak marah kitorang ka. Tong cuma bantu tong pu pace berburu rusa di hutan.”7
Dan kata-kata itulah yang seketika menghentikan niatmu pulangmu. Memaksa kepalamu menoleh ke asal suara. Di sana, terpisah beberapa langkah, Esau dari anak kelas 6 lain tengah berdiri menunggumu dengan tatapan takut-takut. Panah dan busur tergeletak di kaki mereka, tak jauh dari seekor rusa yang terikat mati. Rupanya dari hutan mereka langsung ke sekolah.
“Kalian masih ingat ada ujian lusa?” tanyamu tak percaya sambil berjalan mendekat. Motor telah kau parkir kembali di tempatnya.
“Ingat, Pak Guru!”
“Kalau begitu kenapa kalian malah pergi berburu?”
“Kitong cuma mau bantu-bantu sebentar sebelum pergi.”
“Lalu kenapa rusa yang kalian buru? Bukankah biasanya babi?”
Anak-anak kelas 6 terdiam sebelum kemudian ada satu yang menjawab. “Kitong ingat kata Bapak Guru. Makan babi bisa bikin penyakit. Karena itu tidak boleh. Jadi kitong bilang ke kitong punya pace (bapak) kalau berburu rusa saja. Biar yang makan tidak sakit.”
Deg! Mendengar itu serasa ada hangat menjalari hatimu. Ternyata usahamu tak sepenuhnya sia-sia. Masih ada kata-katamu yang didengar. Masih ada harapan untuk dikejar. Cahaya yang semula hampir redup itu pun kau rasakan terang kembali. Dan semakin terang ketika terdengar Esau berkata, “Pak Guru, matahari lewat di atas kepala sudah. Tidak berdoa dulu ka? Kitong sudah siapkan air dan sapu-sapu kelas untuk Bapak Guru pakai berdoa.”
Subhanallah. Tak kuasa kau menahan haru mendengar kalimat itu. Seorang anak suku asli Papua mengingatkanmu untuk shalat. Duhai. Adakah hati mereka akan tergerak memeluk Islam suatu saat nanti?
“Semoga hidayah-Nya bisa segera sampai padamu, anak-anakku. Semoga…”
Dan di suatu waktu nanti barulah kau menyadari, bahwa meski dirimu ranting tetapi bukan sekadar ranting biasa. Melainkan ranting cahaya yang dengan kelenturannya mampu menyelinap di antara dedaunan, mengisi setiap lubang, merasuki sudut dan celah, bahkan memecah tirai pekat malam, untuk kemudian mengusir gelap. Hingga datanglah terang.
“Maka bergegaslah engkau bangun sebelum atap dijenguk mentari, membuka jendela, lantas mengucap ‘Alhamdulillah’. Semoga setiap langkahmu selalu diridhai Allah, tak henti sepanjang hari.”***
Keterangan :
- Sebuah fakta yang terjadi di Merauke, Papua, akibat beratnya beban sebagai guru di sana. Hal tersebut menyebabkan muncul lelucon di tengah masyarakat, “Kitorang di sini butuh guru, bukan burung!” Guru pun kurang dihargai lagi. (sumber: Kompas)
- Saya mau jadi pemburu seperti bapak saya.
- Saya mau jadi istri seperti ibu saya.
- Sebutan untuk penduduk asli Papua.
- Mereka pergi ke hutan, Bapak Guru. Ikut bapak mereka.
- Pak Guru, jangan pergi dulu. Nanti kami tidak jadi ujian.
- Betul itu. Tolonglah bapak jangan marahi kami. Kami hanya membantu bapak kami berburu rusa di hutan.
disadur dari majalah Annida
0 komentar:
Posting Komentar